Masa Lalu pada sebuah Pertemuan

E. N. Mahera
Chapter #32

aku dan kematian yang hampir saja (II) (penghabisan babak)

Ibu dan Sari menyambutku di ruang tengah, menatapku berdiri di ambang pintu. Kami tak saling bicara untuk sekian detik, sampai kemudian pandangan mereka tertuju pada tangan kananku yang bengkak.

“Yatno tak apa-apa?” Kata ibu memelas.

Aku menggeleng.

“Kau dari mana?” Kata Sari dengan suara yang agak tinggi. Air mukanya sulit kuterka sebab separuh bagian kiri wajah dan matanya berwarna biru-kehitaman.

“Aku baru saja membunuh Sefnat dan dua orang kurang ajar itu.”

Sari bangkit dari kursi.

Menghampiriku.

Dan menamparku.

Wajahku terhempas ke kanan tapi aku tubuhku tak beranjak.

Sudah itu, tanpa bicara, dia masuk ke kamar.

Tak lama, tangisannya terdengar lagi.

“Mandilah, Yatno!” Kata ibu, memelas pasrah.

 

*

 

Di kamar mandi kesadaranku belum penuh. Pikiranku seolah-olah tertutupi awan hitam pekat yang menghapus rasa takut atau khawatirku, tak sedikit pun aku memikirkan akibat-akibat perbuatanku. Sulit kujelaskan keadaan jiwa dan pikiranku saat itu. Aku sadar, tapi kesadaranku separuh saja. Saat itu aku seolah mati rasa dan pikiranku buntu untuk berandai-andai. Aku tak berpikir akan ditangkap, aku tak berpikir untuk lari, bahkan tak ada rasa sesal untuk pembunuhan yang baru saja kulakukan. Tak kupikirkan perasaan keluarga tiga orang yang baru kuhabisi.

Matahari sudah naik saat itu, tapi di luar sepi sekali, tak ada suara tetangga yang beraktivitas seperti biasanya. Kerusuhan semalam di Tatara telah mematikan Tatara sebagai pulau berpenghuni.

Usai mandi, aku keluar dari kamar dengan hanya dililit kain, dan di ambang pintu dapur aku tertegun sejenak mendapati ibu duduk di kursi ruang tengah menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ibu tak bersuara tapi aku tahu dia sedang menangis, dan pada saat itu, melihat ibu begitu, mendadak aku seolah-olah melihat raksasa hitam keluar dari dalam tubuh ibu, menghampiriku, berdiri di hadapanku, dan menamparku. Aku tetap diam di tempat, tak terhempas, tapi air mataku menetes lagi. Kesadaranku baru kembali. Dan hal pertama yang muncul dalam kepalaku adalah tali kapal milik Om Nus yang ia titipkan semalam.

Aku bergegas ke dapur, menghampiri kompor, dan meraih tali kapal itu di bawah kompor, lalu menuju kamarku dengan tali itu. Ibu tak kupedulikan lagi saat melintasi ruang tengah. (Saat mengisahkan cerita ini, aku sendiri masih tak habis pikir dan bingung dengan keadaanku waktu itu. Segalanya berjalan dengan sangat cepat dan tak masuk akal).

 

*

 

Bentuk tempat tidurku tak berubah sejak aku masih bocah, di setiap sudutnya ada tiang-tiang kelambu, ujung tiang-tiang itu dihubungkan kayu panjang yang melintang, membuat tempat tidurku berbentuk seperti kotak. Untuk sejenak kuamati tiang-tiang kelambu yang melintang itu, dan aku merasa di situlah aku akan bunuh diri.

Lihat selengkapnya