Satu semester telah berlalu, sampai saat ini Dewa masih belum bisa membuktikan bahwa ia jauh lebih baik dari Abimanyu. Setiap usaha yang ia lakukan selalu berujung dengan kegagalan. Harapan ia hanyalah semester ke dua ini. Itu pun hanya bisa dilakukan dengan kelas X IPA 3.
Seharusnya Dewa hanya mendapat jam mengajar kelas XII saja, karena kelas X dan XI semua akan ditangani oleh Abimanyu. Namun, Dewa berusaha setengah mati meminta sedikit tambahan kelas kepada Tarjo. Akhirnya ia mendapatkan tambahan satu kelas yaitu kelas X IPA 3.
Minggu ini, para guru dan anggota osis SMA Pelita Bangsa sibuk mempersiapkan acara pentas seni yang akan dilakukan besok. Sedangkan Dewa, ia hanya duduk di rumah bermalas-malasan sambil menonton televisi. Pinggangnya sakit itu alasan yang Dewa katakan ketika sebuah pengumuman di grup whats app meminta para guru untuk hadir membantu mempersiapkan acara pentas seni dalam rangka hari ulang tahun sekolah.
''Acara ne kok koyo ngene kabeh. ra jelas.'' ucap Dewa yang artinya acara kok kaya gini semua. nggak jelas. Ia terus memencet remot tv mencari hiburan dari satu saluran televisi ke saluran lainnya.
Ia pun akhirnya berlabuh ke sebuah berita televisi yang sedang menayangkan tentang sebuah virus yang sedang melanda negeri Cina. Virus tersebut diketahui telah masuk ke Indonesia dan telah menginfeksi dua orang warga Indonesia dari Depok.
Dewa mendengarkan berita tersebut dengan saksama. Ada sedikit kengerian yang dirasakan olehnya. Meskipun jarak Depok dengan kediamanya berada dalam radius ratusan kilometer, tetapi ia yakin hanya tinggal menunggu waktu sampai virus tersebut tiba di kotanya.
''Huuff...'' udara berhembus keluar dari mulut Dewa. Semakin lama ia menonton berita semakin takut dibuatnya. Akhirnya Dewa mematikan televisi dan pergi ke halaman depan. Ia mengambil galah dari samping rumah dan berjalan mendekati pohon kelengkeng. Sebuah plastik hitam di ujung pohon ditariknya dengan menggunakan galah. Beberapa buah kelengkeng didalamnya jatuh berserakan di tanah.
''Manisnya......'' ungkap Dewa. Ia bersyukur karena dompolan kelengkeng yang ditangannya luput dari incaran anak-anak kecil yang suka mencuri buahnya. Sudah lama ia menunggu-nunggu buah kelengkengnya masak.
Saat Dewa sedang asik memakan buah kelengkeng, dari jauh ia merasa ada yang memperhatikannya. Seorang anak kecil dengan rambut ponytail yang tipis sedang menatapnya dari depan pagar. Sesekali anak kecil itu mengusap air liurnya yang tanpa sadar mengalir melihat buah kelengkeng yang ada ditangan Dewa.
Dewa celingak-celinguk mencari kedua orang tuanya yang tidak ada di sekitar Cici. Apakah anak ini datang sendiri ke rumahnya pikirnya.
''Mau?'' tanya Dewa sambil menunjukkan buah kelengkengnya. Cici pun datang menghampiri Dewa bermaksud meminta buah kelengkeng.
''Nggak boleh, masih kecil.'' ucapnya sambil terus memakan buah tanpa berniat sedikit pun memberikan kepada Cici. Dewa pikir dengan melakukan hal seperti itu akan membuat Cici menyerah dan pulang ke rumah. Namun, dugaannya salah. Cici tetap berada di depannya sambil terus memperhatikan Dewa memakan buah kelengkeng. Merasa risih, Dewa pun akhirnya menyerah.
''Satu aja, ya.''
Cici pun mengangguk penuh kegirangan. Ia dengan sabar menunggu Dewa yang mengupas buah dan memberikan kepadanya. Setelah satu buah kelengkeng habis dimakannya. Cici yang merasa ketagihan dengan manisnya buah kelengkeng, menengadahkan kedua tangannya isyarat meminta lagi.
Melihat wajah gembira Cici, Dewa tidak kuasa menolak. Akhirnya ia kembali memberikan satu buah kelengkeng. Satu per satu hingga hampir semua telah dimakan oleh Cici.
Dari seberang, Widya yang mencari Cici tampak lega ketika melihat Cici sedang bersama Dewa.
‘’Pak, titip Cici bentar ya. Saya lagi nggosok baju.’’ Teriak Widya dari seberang rumah.
‘’Tung-.’’ Belum sempat Dewa menolak, Widya sudah masuk kedalam rumah kembali. Membuat Dewa semakin bingung. Menjaga anak kecil bukanlah keahliaanya. Ia benar-benar payah jika harus berurusan dengan anak kecil. Tetapi disisi lain tidak sopan rasanya jika ia mengembalikan Cici ke rumahnya dan mengatakan bahwa ia tidak sanggup. Maka mau tidak mau ia terpaksa menjaga Cici.
Cici berlari dengan riang kesana kemari. Ia mengejar ayam yang berada di halaman. Kemudian terjatuh dan disusul dengan tangisannya yang cempreng. Dewa yang panik dan tidak tau bagaimana cara menghentikan anak menangis mencoba berbagai cara menghentikannya. Ia berlagak seperti ayam dan mengepakkan kedua tangannya seolah berusaha terbang. Usahanya berhasil Cici berhenti menangis dan menjadi tertawa melihat Dewa. Namun ketika Dewa berhenti melakukannya, Cici pun kembali menangis. Dengan terpaksa Dewa melakukannya beberapa kali sampai Cici benar-benar berhenti menangis.
Satu jam telah berlalu dan tidak ada tanda-tanda Widya ingin mengambil Cici. Dewa yang telah lelah akhirnya membawa Cici untuk menaiki sebuah ayunan dari ban bekas yang tergantung di bawah pohon depan rumah Dewa. Diayunkannya pelan-pelan Cici yang duduk manis di atasnya. Angin sepoi-sepoi yang bertiup lembut membuat Cici semakin mengantuk dan akhirnya tertidur. Untung saja dengan sigap Dewa menangkapnya.
‘’Sebentar apanya.’’ Dewa mendengus kesal. Ia kemudian menggendong Cici dan hendak mengantarnya pulang. Namun ternyata dari jauh Widya datang dengan membawa semangkuk sayur.
‘’Aduh, maaf Pak. Udah ngerepotin. Ini ada sayur buat Bapak.’’