Aurel memeluk handuk birunya yang bergambar beberapa ekor beruang kecil. Brrr…! Dingin banget! Mungkin seperti ini rasanya menjadi buah-buahan yang berada dalam mangkok berisi sirop dan es batu.
Mata Aurel bergerak malas, melihat barometer yang tergantung manis di dinding. Delapan belas derajat Celcius! Wew! Pantas saja!
Dulu, duluuu sekali, Bandung memang terkenal sebagai kota dingin. Maklumlah, terletak di dataran tinggi. Begitu dinginnya hingga membuat Londo-Londo tempo doeloe menjadikan kota ini sebagai tempat tetirah. Dingin dan indah, seperti kota Paris di Benua Eropa sana.
Namun, itu dulu. Duluuu … banget. Zaman ketika Jalan Braga masih berupa jalan pintas yang becek dari Gudang Kopi menuju Jalan Pos Besar. Zaman kuda masih plak-ketiplak-ketipluk menarik delman yang membawa para noni bule.
Sekarang Bandung sering tak berbeda dengan Jakarta. Panas dan macet. Dibandingkan Jakarta, Bandung malah lebih ekstrem. Jakarta sih panas pada pagi, siang, sore, dan malam hari. Konsisten. Nah, Bandung?
Bandung nggak konsisten. Dingin seperti semangkok sop buah pada pagi dan malam hari, tetapi sering panas seperti segelas bajigur pada siang hingga sore hari.
Untungnya, sepanas-panasnya Bandung, Aurel masih bisa bernapas bebas. Kecuali tentu saja jika sedang melewati gunungan sampah. Di Jakarta? Hhh…! Aurel sering merasa tak bisa bernapas jika tak ada AC atau kipas angin yang berputar nonstop di dekatnya.
Cuma, pagi ini Bandung memang lebih dingin daripada kemarin.
Ketel di dapur menguing-nguing. Ngiiing…! Ngiiing…! Ngiiing…!
“Aureeel…!”
“Iya, Mi.”
“Mandiii…!”
“Iya, Miii.”
“Airnya udah mendidih, tuh!”
“Iya, Miii….” Meskipun sudah berkali-kali menjawab “Iya, Miii”, Aurel masih saja duduk menekuk lutut dan memeluk handuk.
Mandi pagi dalam suhu udara serendah ini sepertinya bukan ide cemerlang. Meski pakai air hangat, tetap saja terasa dingin dari udara, dari angin yang menyusup melalui lubang-lubang ventilasi.