Masihkah Kau Mencintaiku?

Lunette
Chapter #1

Pertemuan Takdir

Hujan turun deras sore itu, menelusup di sela-sela genting dan membasahi aspal yang sudah menghitam. Tara Iswari Putri mendesah pelan di balik kemudi mobil tuanya yang mogok tepat di lampu merah pusat kota. Wiper mobilnya berdecit pelan, menyapu air hujan yang tak henti mengguyur kaca depan. Dengan raut kesal dan wajah yang mulai pucat karena dingin, Tara berusaha menghidupkan mesin untuk kesekian kali, namun hasilnya tetap sama: hening. Mobil tua itu seakan menyerah pada hidup, seperti dirinya yang hari itu sudah terlalu penat.

Ia melirik jam tangan yang melingkar longgar di pergelangan kirinya. Pukul 17.22. Presentasi pentingnya dengan klien besar sudah lewat hampir satu jam. Semua usaha kerasnya selama dua minggu terakhir terbuang sia-sia hanya karena mobil butut peninggalan almarhum ayahnya memutuskan mogok di saat paling genting.

"Astaga... kenapa harus hari ini, sih?" gerutunya sambil menundukkan kepala ke setir, frustasi.

Tara sebenarnya bukan tipe wanita yang mudah mengeluh. Usianya yang hampir menginjak 26 tahun telah membentuknya menjadi pribadi tangguh dan mandiri. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, ia terbiasa mengurus segalanya sendiri sejak sang ayah tiada. Tapi hari itu, semuanya terasa lebih berat. Entah karena lelah atau karena hatinya yang diam-diam kecewa pada hidup yang terus mengujinya.

Ia mencoba mengambil ponsel dari tas dan hendak menelepon adiknya, tapi baru menyentuh layar, ponselnya mati—kehabisan baterai. Tara memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri. Satu per satu mobil di belakangnya membunyikan klakson. Suara klakson, hujan, dan pikirannya yang kacau membuat kepalanya berdenyut.

"Permisi, mobilnya mogok?"

Suara itu datang dari luar. Tara menoleh dan menurunkan kaca sedikit. Seorang pria berdiri dengan payung besar berwarna biru laut, mengenakan jas hujan tipis di atas kemeja putih dan celana hitam yang sudah agak basah di ujung. Rambutnya sedikit berantakan karena angin, tapi wajahnya... terlalu tenang untuk situasi seberat ini.

"Iya, mogok," jawab Tara dengan suara setengah menyerah.

"Saya bantu dorong ke pinggir, ya?"

Tara sempat ragu. Di dunia yang penuh ketidakpastian, menaruh kepercayaan pada orang asing bisa jadi kesalahan fatal. Tapi melihat tatapan pria itu yang tulus dan penuh niat membantu, ia akhirnya mengangguk pelan.

"Saya bantu setir, kamu dorong dari belakang ya," kata Tara, membuka pintu dan mengambil posisi di balik kemudi lagi.

Pria itu mengangguk, lalu menutup payung dan bersiap mendorong. Dengan tenaga yang cukup kuat dan arahan dari Tara, mobil itu perlahan bergerak ke sisi jalan. Butuh waktu lima menit, tapi akhirnya berhasil. Tara segera turun dan mengucapkan terima kasih sambil menunduk dalam.

"Terima kasih banyak, Mas. Maaf merepotkan."

"Nggak apa-apa. Namanya juga sesama manusia," jawabnya sambil menyodorkan tangan. "Saya Rayhan. Rayhan Mahendra."

Lihat selengkapnya