Dia masih lebih muda. Dia salah satu dari tiga pemuda yang berlutut di depan altar suci. Duduk berlutut di tengah, berjubah putih, dengan takzim mengikuti perkataan dari pastor berjanggut di depannya.
Lima belas menit dia berlutut dan kepalanya terangkat saat panggilan terarah kepadanya. “Perwakilan dari Paroki Kalam Kudus, Indra Pratama.”
Tidak ada tepuk tangan, hanya ada nyanyian bernada dasar Gregorian memenuhi rongga gereja, menelusuri kaca-kaca patri berwarna terang yang menggambarkan fragmen perjalanan dari rumah Pilatus ke Golgota. Dia berdiri. Lilin besar di tangannya diacungkan dan sumbunya dinyalakan. Dia tersenyum. Lalu air suci menciprati bajunya. Dia masih tersenyum. Lalu lilin di tangannya diletakkan di atas meja altar. Kemudian bersamaan dengan dua orang lainnya, ia berbalik dan melangkah menuju bangku deretan terdepan. Sesampainya di bangku, mereka bertiga duduk dan disusul jemaat yang lain.
Saat itu dia masih tersenyum.
Banyak yang bisa dia ceritakan tentang masa kecilnya, tapi satu hal yang tetap dia pungkiri, tentang dirinya yang berstatus yatim piatu. Bahkan hampir saja mati tanpa nama saat ia masih berbentuk bayi merah, tergolek dalam sebuah keranjang bambu di depan panti asuhan Kalam Kudus. Sampai seorang lelaki paruh baya, guru di yayasan itu, juga seorang pastor yang kerap memimpin Ekaristi setiap Minggu bernama Hilarius Manurung—yang sampai sekarang dia menyebutnya Paman Pastur—menamainya “Indra Pratama.”
Pastor Hilarius sering sekali bercerita pada setiap orang tentang nama yang diberikan. “Tadinya si ucok itu mau kunamai Batak-Batak begitu! Tapi kulihat tampangnya tidak ada mirip-miripnya sama tampangku. Dia lebih mirip orang Sunda. Daripada nanti semuanya berantakan, kunamai seperti orang Sunda pula lah dia!”
Indra tumbuh dan berkembang di sana. Setiap saat, dengan bangganya dia bercerita tentang ayah ibunya yang penganut Katolik—padahal itu hanya satu dari sekian banyak cerita yang selalu dicekokkan Pastor Hilarius agar Indra tidak banyak tanya tentang masa kecilnya, hingga dikatakan saja kedua orang tuanya meninggal tertabrak truk, dan salah seorang tetangganya menitipkan dia di sini. Selesai!
Sejak pertama kali mendengarnya, otak anak-anak Indra terlalu sempit untuk mencerna sehingga dia hanya mengangguk saja. Lagipula, dia sudah cukup senang di sini. Di yayasan ini semuanya baik-baik, termasuk Suster Margaret yang sudah dianggap sebagai ibu sendiri olehnya. Sehingga ia merasa tak perlu bertanya lebih jauh.
Ia tahu sebelum gorden terbuka
Bahwa kenyataan begitu menyiksa
Seperti kembang api
Di balik topeng salju beraroma luka
Kemudian saat usianya sepuluh tahun, dia pertama kali melihat acara kebaktian khusus untuk menahbiskan calon pastor. Setelah acara itu, ia berkata pada pamannya, “Paman, aku juga ingin jadi pastor.”
Pastor Hilarius tersenyum gembira dan mengelus kepalanya, “Bagus itu! Mulai sekarang, kau harus banyak belajar. Kau bacalah buku-buku di kamarku itu! Beberapa boleh kaubawa ke kamarmu!”
Lalu dia mulai belajar, apa dan bagaimana menjadi pastor yang baik. Dan perlahan dia mulai tahu banyak. Namun semakin banyak Indra belajar, semakin besar pula rasa ingin tahunya. Indra merasa gelisah akan hal itu, ditambah lagi sebenarnya sejak lama ada satu ganjalan dalam hatinya. Sampai saat ini Indra meyakini dirinya dilahirkan sebagai Katolik, atau setidaknya dilahirkan untuk dipersiapkan sebagai Katolik. Tapi sampai sekarang dia tidak tahu apa yang menyebabkan dia memilih jalan itu. Siapa juga yang membimbingnya menuju jalan ini.
Sesungguhnya pun selama dia belajar, dia tidak terlalu paham perbedaan Katolikisme dan Protestanisme, sehingga membuat banyak kelompok di berbagai wilayah planet bumi ini sering berkelahi, berkonflik, bahkan saling membunuh. Termasuk ketika Indra ditugaskan ikut training dua hari di kawasan reatreat villa Puncak tentang transformasi konflik agama. Saat itu dihadirkan pakar Katolikisme yang berasal dari Londinderry, Irlandia Utara. Tempat di mana pernah terjadi perang antara pengikut Katolik dan Protestan selama dua puluh tahun lebih. Dia mendapati sama sekali tidak ada pembahasan mendalam bahwa penyebab konflik itu adalah karena idealisme para pengikut dua aliran Kristen tersebut.
Atau perbedaan Kristen dengan Islam yang entah kenapa bisa menyebabkan perang salib berkepanjangan, yang selama dia mendalami Katolik selalu dijadikan musuh utama yang harus diwaspadai. Padahal masih banyak agama lain di muka bumi yang juga harus diwaspadai keberadaannya. Tapi kenapa Islam selalu dijadikan sasaran utama? Atau juga perpecahan di tubuh Kristen sendiri sehingga membentuk Kristen Ortodoks, Kristen Protestan. Saksi-Saksi Yehova, Kristen Advent, Pantekosta, dan banyak lagi sekte.
Manusia, pada sebuah bentuknya