“Kamu sedang ada masalah, ya?”
Kembali suara itu menyapa di tengah udara yang cukup panas.
Perlahan, dia—Afrina Zakiah, yang teman-temannya biasa memanggil dia Zaki, padahal setahu dia itu nama laki-laki, tapi dia tidak pernah ambil pusing—mengangkat wajahnya. Menatap wajah di depannya. Wajah cantik berkulit putih, terbungkus jilbab biru muda. Cocok sekali dengan alis tebal, bulu mata lentik dan senyum milik Nisa. Seperti biasa, wajah itu hadir lengkap dengan sapaan ramahnya, dengan senyum riangnya, dengan sinar mata cerahnya. Hanya saja hari ini ada setitik jerawat di hidung itu; jerawat merah kecil yang tumbuh di ujung hidung,
Biarlah, yang penting dia masih mau menyapaku hari ini.
Nisa berdiri di hadapan Zaki, tangannya menarik kursi terdekat, lalu duduk sambil mencondongkan tubuh. Zaki berusaha tersenyum. Perlahan ia menggelengkan kepala sambil memegang telapak tangan sahabatnya. “Nggak, kok, Nis! Aku Cuma nggak enak badan.”
Nisa mengangkat alis. “Oh, jadi gitu, ya, sekarang, sudah nggak mau cerita kalau ada masalah. Nisa yakin, kamu sedang ada masalah. Akhir-akhir ini kamu berubah, lho!”
“Nggak, kok! cuma sedang nggak enak badan. Percaya, deh!”
“Begitu, ya? Tapi walaupun sedang sakit, senyum tetap tidak boleh lupa. Senyum itu ibadah, lho! Terus, kalau cemberut orang lain kan jadi nggak enak bicara sama kita.”
“Iya, iya.” Zaki menggerakkan bibirnya, membentuk sebuah gerakan yang mungkin mirip senyuman. Harapannya semoga Nisa bisa tertipu, dan ternyata tipuannya berhasil.
“Nah, begitu, dong! Kan kamu jadi tambah cantik.” Nisa berdiri. “Mau ikut ke kantin?”
Zaki menggeleng. “Nggak, deh! Aku lagi malas.”
“Mau titip sesuatu?”
Kembali Zaki menggeleng. “Nggak juga. Aku nggak lapar.”
Nisa seperti sudah kehabisan akal. Dia cuma bisa mengangkat bahu lalu berbalik keluar ruangan. Terdengar langkah-langkah cepatnya, dan—Zaki yakin meski tak melihatnya—langkah-langkah itu pasti masih diiringi senyum tak tak pernah lepas dari bibirnya.
Zaki menarik napas panjang, tangannya lambat-lambat bergerak merapikan buku catatan yang terserak di meja. Dalam otaknya saat ini berseliweran berbagai informasi yang bercampur membentuk satu gabungan masalah besar yang memaksanya berpikir keras.
Memang ada yang bilang, masalah memang hanyalah sebentuk bumbu di kehidupan manusia, tapi seperti juga dalam masakan. Kalau terlalu banyak bumbu juga tidak akan terasa enak.
Dan sekarang bumbuku terlalu banyak!
Tangannya memasukkan diktat kuliah tapi pikirannya tidak tertuju pada diktat-diktat itu. Dia masih memilah-milah kumpulan “bumbu” di otaknya.
Mulai dari IPK-nya yang anjlok sekali semester ini, hanya 2,55 dari IPK 3,60 di semester sebelumnya. Lalu kiriman uang yang terlambat datang, amanahnya untuk jadi bendahara acara Bakti Sosial di kampusnya, handphone-nya yang hilang di bus, hafalan Al-Qurannya yang tidak maju-maju, dan… masalah terbesar…
Dari arah belakang, sebuah tangan menepuk pundaknya membuyarkan lamunan. Zaki menoleh. Ternyata Nisa sudah kembali dari kantin. “Ki, sekarang ada rapat di Al-Furqon. Kamu bisa datang, kan?”
“Rapat apa?” Zaki memutar duduknya.
“Rapat baksos lagi. Katanya konsep acara ada yang mau diubah. Mungkin masalah pendanaan sama penyediaan barang.”