Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #6

ZAKIA: Setetes Air Mata Di Sore Hari

Sore meninggalkan bayangan merah. Angin sepoi mengantarkan burung-burung ke tempat istirahatnya masing-masing juga bertiup ringan mengibarkan jilbab Zaki yang sedang duduk di halaman belakang rumah kostnya. Sebuah taman kecil dialasi rumput hijau dan pohon-pohon yang cukup rindang, bersatu dengan suara ikan-ikan yang sedang berenang di kolam kecil di tengah taman.

Sore itu memanggil dalam keheningan, membiarkan warna merah berangsur-angsur memudar di langit. Angin sepoi-sepoi berbisik, memeluk tubuh kecil burung-burung yang bergerak menuju tempat peristirahatan mereka. Di halaman belakang rumah kost yang sederhana, Zaki duduk dengan tenang, jilbabnya tergerai lembut oleh hembusan angin yang bermain-main di sekelilingnya.

Halaman belakang itu adalah tempat di mana Zaki sering menyendiri, mencari ketenangan dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Di tengah-tengahnya terhampar sebuah taman kecil yang dikelilingi oleh rerumputan hijau segar dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Suara gemericik air dari kolam kecil di tengah taman menghadirkan nuansa yang menenangkan, seperti sebuah lagu pelipur lara bagi jiwa yang resah.

Bagi Zaki, halaman belakang itu adalah oase ketenangan di tengah hiruk-pikuknya rutinitas sehari-hari. Di sinilah dia bisa melepaskan diri dari beban pikiran dan merenungkan segala sesuatu dengan lebih jernih. Di sinilah juga dia bisa meresapi keindahan alam yang begitu sederhana namun begitu memukau, seperti lukisan alam yang diciptakan oleh Sang Pencipta.

Saat itu, matahari telah menyelinap perlahan di balik cakrawala, meninggalkan jejak-jejak keemasan yang memperindah langit senja. Zaki melihat perubahan itu dengan penuh kagum, mengamati bagaimana warna-warni langit berubah secara bertahap, seolah-olah alam itu sendiri sedang menggambar pemandangan yang indah untuk mata yang memandang.

Dalam keheningan yang menyelimuti, Zaki merenung tentang arti kehidupan dan makna di balik setiap peristiwa yang dia alami. Dia merenung tentang tujuan hidupnya, tentang mimpi-mimpi yang ingin dia kejar, dan tentang makna kebersamaan dalam hidup ini. Halaman belakang itu memberinya ruang untuk merenung, untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan untuk mencari kedamaian dalam dirinya sendiri.

Sore itu, di halaman belakang rumah kost yang sederhana itu, Zaki tidak hanya duduk sendiri. Dia duduk bersama pikirannya, bersama alam yang menyapanya dengan gemericik air dan desiran angin. Dan di antara segala keramaian dunia yang terus berputar, Zaki merasa ada keindahan yang begitu hakiki di dalam kesederhanaan yang dia temukan di halaman belakang itu.

Inilah salah satu tempat favoritnya, tempat di mana ia bisa sendirian, melepaskan lelah dan menjernihkan pikiran, membayangkan apa yang ada dan menghapus apa yang tidak ada. Zaki mencoret-coret buku sketsanya, mengharap ada kalimat yang melintas, mengharap ada ide yang datang. Sampai tiba-tiba dia sadar coretan pena di kertas itu mengukir nama seseorang.

Aduh, kenapa jadi begini?

Zaki menutup buku sketsa dengan gerakan tegas, ekspresinya mencerminkan kekesalan yang terpendam. Matanya menatap ke langit, di mana awan-awan putih mengambang dengan gemulai, namun sebagian dari mereka tersemu merah oleh perubahan warna senja yang sedang berlangsung. Sebuah rasa kecewa menghampirinya, mengganggu ketenangan yang baru saja dia rasakan.

Rasa kecewa itu seperti tamu tak diundang yang datang begitu saja, tanpa pemberitahuan sebelumnya. Zaki sering kali merasa bingung dengan kedatangan tiba-tiba emosi tersebut. Entah darimana asalnya, entah apa yang memicunya, namun setiap kali hadir, rasa kecewa itu memenuhi hatinya dengan berat.

Mungkin itu adalah perasaan kecewa akan sesuatu yang belum tercapai, mungkin pula itu adalah kekecewaan terhadap diri sendiri karena merasa tidak mencapai standar yang dia tetapkan. Zaki berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya, tetapi jawaban itu selalu terasa mengambang di antara awan-awan yang menjelang senja.

Dia merasa seolah-olah ada yang kurang dalam hidupnya, sesuatu yang belum terpenuhi, atau mungkin sesuatu yang hilang tanpa jejak. Rasanya seperti ada satu puzzle yang belum lengkap, dan meski dia berusaha keras untuk menemukan potongan terakhirnya, namun selalu saja ada yang mengganjal, menyebabkan kebingungan dan kekecewaan.

Lihat selengkapnya