… ketika itu rambutnya masih terurai sebahu. Dia masih mengenakan seragam putih abu-abu, masih dengan mata penuh mimpi, masih dengan senyum khas remaja putri. Tidak ada yang dia cemaskan dengan kegiatan-kegiatan ekstrakurikulernya yang menumpuk, tidak ada yang dia pikirkan mengenai tugas-tugasnya yang menanti. Zaki masih ingin menikmati masa remajanya, tanpa beban. Dia masih ingin menunjukkan pada dunia siapa sebenarnya seorang Afrnia Zakiah.
Tanpa beban…
Sebelum sore itu, juga dengan udara sore yang menyusup dari sebuah jendela, tapi kali ini lewat jendela sekretariat Paskibra. Seorang sahabat dekatnya, Imel—seorang cantik bermata sipit—yang juga sahabat terdekat Zaki, mengangsurkan sepucuk surat diiringi senyum penuh rahasia.
“Ki, ada surat, nih!”
Kening Zaki berkerut. “Dari siapa?”
“Pokoknya dari cowok, deh! Mau terima nggak?”
“Iya, siapa dulu cowoknya?”
“Baca sendiri, deh!”
Imel meletakkan surat itu di depan Zaki, lalu dia duduk di dekatnya, membuka sebungkus permen sementara matanya masih mengawasi Zaki.
“Ayo dong, Ki, baca dulu!”
“Wah, kok kamu maksa, Mel? Dari siapa sih?” Zaki makin penasaran.
“Pokoknya dari cowok, dijamin nggak bakal kecewa, deh!”
“Ada petunjuk nggak?”
“Cakep sih nggak terlalu, tapi yang jelas dia itu orangnya baik, ramah, tidak sombong, suka menolong, gemar menabung… aduhh… aduh… kok nyubit, sih?!”
“Serius, dong! Memangnya dasadarma pramuka pakai gemar menabung segala?”
Imel tidak menjawab, hanya tersenyum-senyum sendiri sambil matanya bersinar-sinar jenaka. Zaki tidak tahan melihatnya. Tangannya dengan cepat menuju pinggang Imel lagi. Imel menjerit.
“Aduuhhh… Ki, sakit tahu. Nyubitnya nggak kira-kira!”
“Biarin! Aku baca di rumah saja, deh! Aku pulang dulu, Mel.”
“Eh, jangan dong, Ki, baca di sini saja.” Imel menjawab sambil mengelus-elus bekas cubitan di pinggangnya tadi.
“Alasannya?”
“Ngg… cowoknya minta jawaban sekarang.” Imel menjawab ragu-ragu.
“Hah… berarti dia ada di sini, dong?!”
“Iya.”
Zaki menarik-narik tangan Imel mengajaknya keluar dari sekretariat. “Kkasih tahu yang mana orangnya?!”
“Jangan, dia bilang jangan dulu! Kamu juga kenal sama dia, kok. Lebih baik baca dulu suratnya.”
Akhirnya Zaki membuka surat itu juga. Hanya satu lembar. Imel memandangnya sambil tersenyum-senyum sendiri, terutama melihat rona wajah Zaki yang kemerahan saat membaca surat itu.