…“Allahu Akbar… Allahu Akbar….”
Zaki tersadar dari lamunannya, sudah maghrib dan kamarnya begitu gelap. Zaki lupa belum menyalakan lampu.
Aduh sudah sore, aku belum mandi. Perlahan dia bangkit dari tempat tidur, disentuhnya saklar, kamarnya terang. Setelah menggeliat sebentar, dia menyambar handuk dan menuju ke kamar mandi. Dinyalakan keran air dan tak lama kemudian terdengar suara air mengalir mengisi bak mandi yang hamper kosong.
Sambil menunggu bak penuh, Zaki berdiri mematung memandangi aliran air berwarna keperakan yang tertimpa cahaya lampu neon. Melamun. Satu hal yang dulu tidak pernah dilakukannya, kemudian jadi kebiasaannya, setelah itu tidak pernah lagi, dan sekarang kembali jadi kebiasaannya.
Biasanya dia tidak pernah melamun karena pikirannya selalu padat dan terfokus, namun malam ini begitu lain, begitu juga malam-malam selama enam bukan terakhir ini. Zaki merasa dia sudah harus mulai menertawakan diri sendiri atas kenyataan ini.
Irwan…
Zaki menuliskan nama itu di dinding kamar mandi, tidak ada tulisan yang tercetak karena cetakannya sudah lama muncul di hati. Entah kenapa Zaki mendapatkan dirinya bertingkah seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta dan selalu ingin menuliskan nama kekasihnya di mana-mana.
Astagfirullah… aku ini kenapa? Zaki tersadar cepat, dan kembali mendapati dirinya melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan, kembali mendapati dirinya mengeluarkan pertanyaan “Kenapa?”, sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri yang tidak tahu jawabannya. Bak mandi sudah penuh, Zaki segera mematikan keran air lalu menggosok gigi dan mengambil air wudhu. Dia membatalkan niatnya mandi, udara terlalu dingin.
Tak lama, sosoknya sudah terbungkus mukena dan sedang berdiri di atas sajadah. Shalat tiga rakaat yang tidak terlalu lama tapi juga tidak terlalu singkat. Disambung dua rakaat lagi, lalu lama terpekur di atas sajadah.
Dadanya kembali sesak. Ingin rasanya dia menangis tapi sekuat tenaga ditahannya. Sudah terlalu sering dia menangis untuk sesuatu yang seharusnya tidak perlu ditangisi. Zaki hampir saja berpikir Allah mungkin sudah bosan mendengar tangisannya dan melihat aliran air mata di pipinya.
Kali ini untuk kesekian kalinya dia ingin menangis, tapi sepertinya percuma. Tidak akan ada yang berubah, walaupun banyak orang yang mengatakan menangis itu menunjukkan kelemahan, tapi Zaki selalu menganggap itulah salah satu cara mengeluarkan perasaannya. Setidaknya dia selalu merasa hatinya beranjak lega setiap kali selesai menangis.
Sejenak tangannya terangkat ke udara, sebaris doa melantun, dia tahu, Allah sudah tahu maksudnya, Allah sudah tahu artinya. Sehingga tidaklah panjang kalimat yang terucap.
Ya Allah, apa maksud kenangan ini kalau hamba tidak bisa menghapusnya lagi? Kenapa dia ya Allah? Dan kenapa sekarang? Tidak terasa dua butir air mata mentes.
Ah, akhirnya air mata itu harus keluar juga. Tampaknya jiwanya masih menginginkan hati untuk tercuci bersih dan merasa lega kembali.
Tuhan
Biarlah mata ini menjadi saksi sendiri
Bahwa dia sudah menangis
Karena satu rasa yang terlalu besar
Karena satu rasa yang ada
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk disusul suara ibu kost memanggil, “Neng Afrina, ada telepon.”
Zaki segera bangkit, melepas mukenanya sambil menjawab, “Iya, Bu, sebentar.” Pintu kamar terbuka ringan dan terdengar langkah-langkah pendek menuju meja telepon.
“Assalamu’alaikum, dengan siapa, ya?”
“Wa’alaikumusalam, Zaki, ini Nisa.”
“Oh, Nisa. Ada apa, nih?” Zaki berusaha membuat suaranya seriang mungkin.
“Malam ini kamu nginep di rumahku, ya?”
“Ada apa, Nis?”