Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #9

ZAKIA: Dua Sahabat, Satu Rasa

Rasanya, sudah berabad-abad lamanya sejak terakhir kali Zaki dan Nisa benar-benar duduk berdua dan berbicara, seperti dulu kala. Mereka telah terbiasa dengan pertukaran pesan cepat dan panggilan singkat yang serba cepat dan praktis. Namun, ada rasa nostalgia yang menyelinap perlahan-lahan di antara kesibukan mereka, sebuah kerinduan akan saat-saat ketika mereka bisa duduk bersama, berbagi cerita, tertawa, dan terkadang bahkan menangis bersama.

Jelas, pertemuan mereka tidak hanya tentang agenda harian atau tugas kuliah yang menumpuk, tetapi tentang membangun kembali ikatan yang perlahan-lahan mulai luntur. "Bagaimana kabarmu?" tanya Zaki dengan nada penuh kehangatan, mengisyaratkan bahwa ia ingin mendengar lebih dari sekadar jawaban standar. Dan dalam setiap kata yang mereka bagikan satu sama lain, terdapat keinginan untuk memulihkan apa yang telah terabaikan selama ini: persahabatan yang kokoh dan penuh makna. Lalu ternyata kali ini mereka benar-benar bicara, dari hati ke hati.

“Kamu lagi bete ya, Ki?”

“Nggak. Kenapa?”

“Mata kamu beda, sayu dan nggak ada semangat.”

“Ah, cuma penglihatan kamu saja.” Zaki tersenyum.

“Alhamdulillah deh, kalau nggak ada problem.” Nisa menggeser duduknya, mendekat.

“Kenapa? Jangan-jangan kamu, ya, yang lagi ada masalah?”

“Kalau masalah sih bukan, cuma perlu pertimbangan dari kamu. Sebenarnya sudah lama aku mau bicara tapi kamunya sibuk terus. Hampir tiap hari menghilang, ada apa, sih?”

“Cari jodoh,” Zaki menjawab sambil tertawa-tawa. “Sudah deh, masalah aku yang tiap hari menghilang jangan dibahas, sekarang masalah kamu sendiri apa?”

“Tapi kamu jangan marah.”

“Iya, ada apa, sih? Jadi penasaran.”

“Hmm, menurut kamu, Irwan baik nggak?”

Zaki menelan ludah. Ada apa ini?

“Maksudmu?”

“Jawab dulu, Ki!”

“Aku kira dia baik, shaleh, keturunannya bagus, pintar… apalagi, ya?”

“Bukannya kamu satu sekolah sama Irwan dulu?”

“Iya!” Zaki mengangguk, matanya lekat memandang wajah Nisa. Tapi pikirannya sudah terbang ke mana-mana.

Nisa menunduk, keraguan melintas di wajahnya, sementara tangannya memainkan tali ransel. Jelas dia sedang disergap kegelisahan yang hebat.

“Nisa, ada apa? Nggak biasanya kamu begini?”

Zaki meraih pundak Nisa, dia bisa merasakan beban kesedihan yang menghampiri sahabatnya. Meskipun pikirannya dipenuhi dengan bayangan nama Irwan yang terus-menerus berputar-putar, perhatiannya beralih sepenuhnya pada Nisa. Kesedihan dan kekhawatiran sahabatnya menjadi prioritasnya yang utama saat ini, bahkan melebihi kekhawatirannya terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Irwan.

Tiba-tiba, dalam keheningan yang hampir menyakitkan, Nisa merapatkan tubuhnya pada Zaki dan memeluknya erat-erat, seolah-olah menahan sesuatu yang begitu besar di dalam dirinya. Zaki bisa merasakan getaran lembut di pundaknya, tanda bahwa tangis Nisa mulai mengalir. Kejutan merayapi dirinya, namun, tanpa ragu, dia membalas pelukan itu dengan keheranan yang sama kuatnya. Selama hampir dua tahun persahabatan mereka, tidak pernah sekalipun dia melihat Nisa menangis. Ini membuatnya sadar betapa dalamnya rasa sakit yang sedang dirasakan oleh sahabatnya, dan dia bertekad untuk menjadi sandaran yang kuat dalam momen-momen sulit seperti ini.

“Nisa… Nisa ada apa?” Zaki berusaha menenangkan Nisa dengan mengelus-elus punggungnya.

Lihat selengkapnya