Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #10

ZAKIA: Serahkan Pada-Nya

Matahari baru saja muncul dengan gemilangnya di timur, menyinari langit pagi dengan pancaran keemasan yang menakjubkan. Sinar hangatnya meresap melalui jendela kamar kecil yang menjadi saksi bisu dari peristiwa yang akan terjadi. Kesejukan pagi itu seperti menyapu masuk ke dalam kamar, memberikan nuansa segar yang menyegarkan di udara pagi yang masih terasa sepi.

Di sudut kamar, Zaki duduk di atas tempat tidurnya, sibuk mengepak barang-barangnya ke dalam sebuah ransel berukuran besar. Setiap gerakan tangannya penuh dengan kehati-hatian, sebagai bentuk perhatian pada detail yang tidak biasa. Sementara itu, bibirnya terus bergerak, mengalunkan lagu-lagu kecil yang terdengar samar di tengah keheningan pagi. Beberapa baju terakhir dilipat dengan rapi, diletakkan di samping ransel yang sudah hampir penuh dengan barang-barangnya.

Di antara keramaian kegiatan pagi itu, pandangan Zaki tertuju pada sebuah setumpuk buku di atas meja tulisnya. Di antara buku-buku itu tergeletak sebuah surat undangan, berwarna biru cerah dengan huruf-huruf emas yang bersinar di bawah cahaya pagi.

"Menikah," baca Zaki dengan perlahan, mengulang baris-baris kata yang terpampang jelas di atas kertas undangan itu. Namun, bukan kata-kata itu yang membuat hatinya berdebar kencang, melainkan nama yang tertulis di bawahnya.

 

Menikah

Annisa Nur Islamia (Nisa)

Dengan

Irwan Rahardian (Irwan)

 

Pada undangan itu ada sebuah tanggal, Zaki melirik kalender. 

Hari ini kalian menikah.

Sejenak pilu itu kembali ada, tapi segera ditepisnya.

Maafkan kalau aku tidak datang ya, Nis. Aku tidak ingin luka ini kembali terbuka, aku baru saja sembuh, aku belum bisa merasakan kelegaan lagi.

Nama Nisa dan Irwan seperti paku yang menancap dalam benaknya, mengingatkan pada sebuah peristiwa yang telah lama dipendam di dalam hati. Zaki merenung sejenak, membiarkan pikirannya melayang ke masa lalu yang perlahan mulai terurai di depan matanya.

Ia mengingat betul saat pertama kali bertemu dengan Nisa, gadis itu muncul seperti angin segar di kehidupannya yang monoton. Senyumnya yang manis, ketulusan hatinya, dan keceriaan yang menular membuatnya merasa nyaman di sekitar Nisa. Mereka menjadi sahabat karib, berbagi segala cerita dan rahasia tanpa cela. Namun, di balik semua itu, Zaki tidak bisa menyangkal adanya perasaan yang lebih dalam yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

Namun, keberadaan Irwan adalah bayangan yang selalu menghantui Zaki, mengganggu ketenangan hatinya. Irwan, sosok yang secara tidak langsung merampas hati Nisa, membuatnya merasa tidak berdaya. Meskipun Zaki mencoba untuk menutupi perasaannya, tetapi rasa cemburu dan kekhawatiran tidak pernah benar-benar hilang.

Sementara itu, surat undangan di tangannya terasa berat, seolah menjadi simbol dari segala perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. Apakah ini saatnya untuk menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari? Ataukah ia harus membiarkan Nisa pergi, memilih kebahagiaannya meskipun itu berarti harus merelakan hatinya hancur berkeping-keping?

Dalam kebimbangan yang mendalam, Zaki meraih pena di atas meja dan mulai menuliskan kata-kata yang mewakili perasaannya yang bercampur aduk. Setiap huruf yang terpampang di atas kertas adalah cerminan dari pertarungan batin yang sedang ia jalani. Sesekali, matanya melirik ke luar jendela, memandang langit yang mulai berubah warna, mencerminkan perubahan yang akan terjadi dalam hidupnya. Mungkin, di balik kerinduan dan kekhawatiran, ada juga harapan bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa cinta sejati akan menemukan jalan untuk bersinar meskipun dalam kegelapan yang paling dalam sekalipun.

Dengan perasaan yang berat namun penuh harap, Zaki menyegel suratnya, seolah memberikan jawaban final atas segala ketidakpastian yang menghantuinya. Ia tahu bahwa tak peduli apa pun yang terjadi, persahabatan mereka akan tetap abadi, meskipun mungkin harus melalui cobaan yang sulit.

Saat ia melangkah keluar dari kamar, ia merasa sedang menuju kehidupan yang baru, Zaki membawa dengan dia sebuah harapan baru, bahwa di ujung perjalanan yang penuh dengan liku-liku, akan ada kebahagiaan yang menanti, entah itu untuk dirinya sendiri, Nisa, atau bahkan Irwan. Dan di dalam hatinya, ia bersumpah untuk selalu menjadi teman yang setia, siap mendukung dan menguatkan dalam setiap langkah yang mereka ambil, karena itulah yang sejati dari persahabatan yang tulus.

Lihat selengkapnya