Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #11

MEREKA: Pada Sebuah Garis Waktu

08.00 WIB

Indra berjalan menjauh dari jendela. Matanya melepaskan diri dari titik-titik hujan yang tadi turun dengan deras. Sekarang titik-titik itu mulai berkurang sedikit-demi sedikit. Sampai akhirnya reda sama sekali. Hujan pagi ini membuat dunia kembali segar. Matahari pagi kembali menghangati tanah yang becek. Sinarnya berjatuhan mengantar air-air yang menempel di ujung-ujung daun. Beberapa ekor katak tampak masih berlompatan ke sana kemari. Alam seperti bergembira lagi.

Ah… tapi memang sejak kapan alam bisa bersedih? Sepertinya mereka akan selalu bergembira selamanya.

Sepertinya…

Indra merebahkan badan di atas kasur. Matanya terpejam merasakan dinginnya udara pagi dengan bekas-bekas hujan. Tak lama kemudian terdengar dengkuran halus dari bibirnya. Mungkin dia sedang bermimpi indah, karena bibir itu tampak setengah tersenyum.

 

Sering kutanyakan dalam hati

Mengapa kita semua harus terbangun

Dari ranjang mimpi yang kita pilih sendiri

Padahal aku enggan

Karena hidup, bagiku tak seindah mimpi

 


10.04 WIB

Hari masih cukup pagi. Jam di dinding terminal menunjukkan pukul sepuluh lewat sedikit. Terminal bus di kota ini memang salah satu yang tersibuk dari semua komponen kota. Hampir dua puluh empat jam orang selalu hadir di sini. Puluhan bus dalam dan luar kota tampak keluar masuk. Pedagang asongan saling berebutan menawarkan dagangan, para pengemis berlomba menadahkan tangan, suara-suara klakson saling bersahutan.

Sementara itu di sebuah perempatan jalan tampak tangan mengacung-ngacung. Mulut berteriak-teriak, ada yang mengatur lalu lintas, begitu cekatan. Tangan-tangan diulurkan, kaca-kaca jendela terbuka. Dunia yang betul-betul tidak bisa didefinisikan. Entah, masih ada yang peduli pada orang-orang di sini atau tidak.

Di tengah semua itu, tampak Zaki baru saja turun dari sebuah bus jurusan Bandung-Sukabumi. Matanya memandang berkeliling ke seputar terminal. Terasa ada kerinduan yang menyelinap melihat semua kesibukan ini.

Terasa ada berbagai kenangan yang datang tiba-tiba melihat kepulan debu dan mendengar bising terminal. Inilah yang tidak tertangkap matanya selama hampir satu tahun, dan sekarang dia pulang, pulang entah untuk berapa lama. Pulang sambil berharap dirinya masih bisa membuang kenangan yang menyakitkan.

Dengan langkah pasti, Zaki melangkah menuju barisan angkutan umum yang akan mengantarkannya ke rumah. Dalam setiap langkah yang diayunnya, Zaki merasakan ada panggilan ke dalam hatinya, panggilan rindu dari rumah, panggilan rindu dari ayah dan ibunya.

Zaki mempercepat langkah. Dia tidak sabar untuk segera sampai…

 

Berikan aku waktu sejenak untuk bernapas di sini

Sebelum aku mati karena ikatan rindu

Sebelum aku pulang lagi ke tempat dulu

Sebelum… sebelum kau tahu

Aku masih yang dulu

 

 

10.05 WIB

Indra menggeliat bangun dari tidurnya. Sekarang dia berjalan keluar dan duduk di teras kecilnya. Dipandanginya hamparan jalan tanah di depannya, dia termangu, mengingat-ingat rencana hari ini.

“Hmm, mandi dulu, habis mandi sapu halaman masjid, shalat Zhuhur, makan, terus… jam tiga ngepel masjid, sapu halaman lagi, shalat Ashar, jam empat belajar tajwid sama Ustadz Shaleh, sampai maghrib, terus….” Dia merenung mengingat-ingat, “Oh ya, kan disuruh perbaiki keran air… sama beli pipa paralon baru… ah, minta uangnya dulu….”

Sambil bersiul-siul, Indra beranjak menuju WC masjid. Tangannya menyambar handuk yang tergantung di jemuran. Setelah mandi, pasti badan jadi segar, begitu pikirnya, dan siap ngepel masjid. Indra kembali bernyanyi-nyanyi kecil.

Bagi Indra, inilah ternyata kehidupan yang mendatangkan ketenangan. Sekarang dia memang hanya bekerja sebagai penjaga masjid, tapi dia tidak pernah mengeluh, karena dia sangat menikmati kehidupannya. Jiwanya lebih tenang, emosinya tidak meledak-ledak lagi. Indra merasa lebih mampu bertahan hidup sendirian.

Apa lagi yang dia cari sebenarnya? Pekerjaan dia sudah punya walaupun hanya sebagai penjaga masjid, uang gaji dia dapat setiap minggu dari Ustadz Shaleh ditambah makan gratis di rumahnya. Pelajaran agama dia dapat langsung setiap sore. Teman-temannya makin banyak. Mereka baik-naik bahkan sama sekali tidak mengucilkannya hanya karena dia penjaga masjid. Malah saat ini dia dipercaya sebagai ketua DKM di sana.

 


10.20 WIB

Lihat selengkapnya