Jam lima sore, sinar matahari memerahkan awan sebelah barat. Burung-burung tampak terbang berkelompok. Mungkin menuju sarangnya masing-masing.
Suasana sore ini betul-betul menyenangkan, mengantar mereka yang sedang duduk dan bermain di pelataran masjid. Terdengar riuh suara anak-anak yang sedang bermain bola beriring dengan suara obrolan ibu-ibu di sekitarnya. Sementara dari dalam masjid juga terdengar jelas riuhnya anak-anak TPA yang belajar mengaji.
Indra duduk bersandar ke salah satu pilar. Angin memainkan rambutnya. Matanya setengah terpejam. Dia baru selesai mengikuti pelajaran tajwid dari Ustadz Shaleh, sekarang dia ingin beristirahat sambil menunggu maghrib.
Tiba-tiba satu suara dari samping mengejutkannya.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.” Indra membuka matanya dan tampak seorang gadis berdiri di sampingnya.
Oh, yang tadi siang….
Ditegakkannya duduknya. “Ada yang bisa dibantu, Teh?”
“Akang ketua DKM di sini, ya?”
“Ya….”
“Tapi saya baru lihat Akang sekarang!” Kalimat itu seperti tuntutan, mau tidak mau Indra tersenyum geli mendengarnya.
“Saya juga baru lihat Teteh sekarang.”
“Saya baru datang dari Bandung.”
“Dari Bandung? Jauh banget. Kita ke ruangan DKM saja, ya?”
Mereka beranjak ke ruangan DKM, lalu duduk berhadapan dibatasi meja. Pintu yang terbuka mengembuskan angin sejuk. Indra memandang keluar sebelum mengalihkan pandangan lagi.
“Hmm… maaf, kalau boleh tahu, nama Teteh?”
“Afrina, tapi orang biasa panggil saya Zaki. Seperti nama laki-laki tapi ya tidak apa-apa, saya tidak masalah dipanggil begitu.”
“Saya Indra. Saya baru satu tahun di sini.”
“Pantas saya belum pernah lihat. Terakhir saya pulang Akang belum ada.” Wajah itu seperti menemukan kepuasan akan teka-teki yang baru terjawab.
“Jangan panggil akang. Panggil saja Indra. Kita sebaya, kan?”
Wajah Zaki mengerut. “Begitu yakinnya kita sebaya?”
Indra hanya mengangkat bahu, “Entahlah, tapi insting saya mengatakan itu. Saya sendiri dua puluh satu, Teteh juga, kan?”
“Sepakat, deh, kita sebaya, saya juga dua puluh satu. Selanjutnya, panggil Zaki saja.” Zaki tersenyum, senyum manis yang menyeruak di wajah mutiara es. Wajah dingin itu kini dihiasi garis senyum, juga menampakkan lesung pipit yang Indra sama sekali tidak tahu kalau itu ada. Lesung pipit yang serasi sekali.
Sepertinya panggilan nama mulai mencairkan suasana, masing-masing mulai terlihat santai.
“Jadi, ada yang bisa saya bantu? Eh, saya sudah tiga kali tanya, nih…”
“Nggak penting, sih! Tapi kan rencananya saya mau lama di sini, sekitar empat bulan deh. Saya mungkin mau sedikit bantu-bantu di DKM. Sekalian disuruh Bapak mengajar TPA.”
“Bapak?”
“Saya anak Ustadz Shaleh, Dra.” Jawaban itu merangkum semuanya, merangkum kepenasaran Indra. Dia tersenyum.
“Kenapa? Ada yang lucu?” giliran Zaki yang heran.
Indra menggeleng. “Tidak! Beruntung sekali hari ini saya bisa ketemu putrid Ustadz Shaleh yang katanya kuliah di Bandung. Beliau sering cerita tentang Zaki, kok.”