(1)
Indra
Cahaya biru berlapis sejumput kelam turun menciumi kabut, menemani sosok anak Adam yang terbaring gelisah di tempat tidurnya sambil membawa satu-satu tarikan napasnya berisi cinta yang terlihat jelas. Jangan kauganggu sebab tak pernah akan kautemukan gelembung-gelembung cinta seperti itu walau kaucari seratus abad lamanya dari setiap hati mereka yang melintas tergesa dihadapanmu.
Tolong, jangan datang padaku
Ini yang menampar-nampar dengan setia
Saat aku ingin beristirahat
Saat aku nyata ingin menghilang
Saat aku ingin diam saja
Temaram makin turun, kabut mendadak sirna dibawa tiupan angin yang lembut tapi mengguncangkan daun-daun, merobek lembaran-lembaran, menyingkapkan kenyataan yang disembunyikan. Membawa semua makhluk pendzikir pada sisi realita yang harus dihadapinya sendiri tanpa ada yang peduli.
Bolehkah aku memaki semuanya?
Saat getaran ini makin ada
Aku tidak mampu melawannya
Saat kauhadirkan sosok Hawa
Yang membuat aku terjungkal sendirian
Yang membuat aku berkeringat di tengah malam
Gerah oleh perasaan tak biasa :
Cinta
Jangan salahkan aku,
Tolong…
Entah siapa yang mengirim dia padaku
Entah siapa yang membuat bola mata itu
Sehingga sedemikian bening
Mengkristal…
Membangun imajiku akan isi hatinya
Yang pasti juga sebening embun
Selembut salju…
Seputih kapas…
Sehalus sutra…
Lama sekali. Keheningan mulai menyergap menggantikan tenaram yang ada. Satu per satu dzikir alam raya terhenti. Bukan mati, tapi lelap dalam mimpi masing-masing.
(2)
Zaki
Keheningan alam raya makin nyata, sementara ada sosok jiwa yang terbungkus kain putih sedang bersimpuh menghadap Sang Mahasempurna.
Ya Allah, sudah waktu satu pertiga malam
Betapa cepat waktu berlalu
Tapi hidupku begitu pula
Jika ini adalah ujian
Yang harus aku tempuh
Dengan tangan dan kaki yang lelah
Maka akan aku jalani ini semua dengan
Kesadaran tanpa batas
Ya Allah yang Maha Pemurah
Jika semua ini adalah sikap darimu
Semoga apa yang aku alami ini
Menjadi tebusan bagi kehidupanku
Di akhirat kelak
Yang lebih baik
Dari apa yang aku alami
Hari ini
Hening, Suara Isakan perlahan mengambil alih udara malam
Betapa berat segala yang kuterima
Segala yang aku rasakan
Padahal aku tidak ingin terjebak lagi Ya Allah
Napasku tinggal satu-satu saat kuhirup udara-Mu
Janganlah lagi Kauserahkan rasa ini
Aku ingin menghindar
Apakah aku bisa
Apakah aku sanggup
Mungkin tidak
Maka izinkanlah aku menyerah
Setidaknya tidak Ya Allah…
Aku sudah pasrah
Dalam semua penglihatan-Mu
Tolong jawab ya Allah
Bolehkah jiwa hamba menyerah saat ini?
Kembali hening. Dua anak manusia perlahan terlelap sendiri-sendiri. Tanpa ada yang bisa mengerti betapa kecamuk rasa it uterus bergolak, betapa cerita ini akan terus berlanjut panjang. Dengan segala kemungkinannya, dengan segala doa dan kepasrahan, dua anak manusia terlelap sendiri-sendiri…
(3)
Waktu terasa berhenti ketika dua mata itu bertaut kembali, diselingi marmer putih nan licin dan kukuh. Dan suara mereka yang mengaji kitab suci, merdu, sendu, juga pilu…
Indra
Tolong jangan pergi dulu
Izinkan aku berkata sesuatu padamu
Sekali saja
Setelah itu kau boleh pergi sesukamu
Untuk tinggalkan aku
Zaki
(dalam hati)
Apakah yang harus aku dengar?
Sedang matamu sudah mengatakan segalanya
Aku tidak akan tertipu binar itu
Sebab aku sudah pernah memilikinya dulu