Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #15

ZAKIA: Sudutnya

Sambil berjalan di koridor, kutatap lama-lama kertas di tangan—daftar mata kuliahku. Rumit sepertinya aku memang harus banyak kerja keras lagi semester ini. Uh, ditinggal satu semester ternyata repot juga!

Ujung korodor sudah terlihat, ruang laboratorium komputer sudah terlewati Perjalanan ke ruang DKM tidak secepat biasanya. Aku banyak bertemu teman-teman lain, dan kudapati kerinduan yang sama di mata mereka. Sapaan ramah, salam, sentuhan di pipi, telapak tangan, semua menyajikan cinta tersendiri. Ternyata di sini juga ada cinta, ah… harusnya aku mengerti ini sejak dulu.

Tapi, kenapa dulu semuanya tidak seperti ini? Kenapa dulu semuanya terasa kusam? Apa ini hanya karena semata aku lama tidak bertemu mereka? Atau karena sekarang hatiku sudah terisi oleh cinta dari seseorang.

Aku termangu sejenak. Kalimat tadi terpikir olehku. Hatiku sudah terisi seseorang? Apa arti “seseorang” itu? Aku tidak pernah paham akan manajemen cinta, sejauh mana itu bisa memengaruhi hati atau perilaku, atau seberapa kuat dia bisa menghancurkan? Tapi yang aku tahu, cinta adalah energi terbesar yang diciptakan Allah untuk manusia. Cinta bisa menggerakkan semua hal, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun.

Aku tidak pernah paham, manusia mungkin hanya diciptakan untuk mengalami. Ya, untuk mengalami, dan juga untuk berpikir. Tidak untuk mengomentari.

Tiba-tiba aku jadi rindu pada Indra. Seandainya dia di sini….

 

Mungkin canda akan serba nyata

Atau jelang senja lagi saat kita bersama

Tertawa, dan bermain mata

Cinta…? Sepertinya kan?

 

Aku tersenyum sendiri. Kupercepat langkahku. Ruang DKM sudah terlihat. Ruang yang entah kenapa jadi mendadak penuh aura cinta yang dulu tidak pernah terasa. Ruang yang tidak pernah sunyi. Selalu terisi dan ramai dua puluh empat jam—oleh para ikhwan tentunya, kalau akhwat paling malam jam delapan.

Ada saja yang dibicarakan. Soal ilmu fiqih, hadits, politik nasional, politik kampus, filsafat, anomali jurusan-jurusan di kampus-kampus fakultas usluhuddin, sampai proyek kapitalisme tetangga sebelah kami—KOPMA.

Kubuka pintu sekretariat pelan-plan. Wajah-wajah berjilbab di dalam menoleh dan sepertinya mendeteksi kehadiranku. Sejenak kemudian jeritan-jeritan kecil menerpa.

“Aduh, Zaki, ke mana aja?”

“Kamu tambah gemuk, ya?”

“Kita kira kamu nggak ke sini lagi, betah di Sukabumi.”

Semuanya kuhadapi dengan senyum sambil duduk di kursi terdalam. Kususuri wajah mereka satu per satu.

Airin yang serius tapi jago menulis, kacamata minusnya membuat dia selalu kelihatan pintar dan tulisan-tulisannya yang sering dimuat di surat kabar dan majalah membuat dia dipercaya jadi ketua redaksi bulletin kampus. Gaya bicaranya datar hampir tanpa intonasi. Dia memang lebih cocok jadi penulis daripada pembicara.

Kesenangannya selain membaca Al-Quran juga membaca Sinchan. Sepertinya dia terobsesi benar dengan komik Jepang itu. Tiada hari tanpa Sinchan, begitu mottonya. Jadilah ruang DKM akhwat ini sasarannya menyimpan koleksi komik itu. Coba saja periksa lemari arsip paling bawah.

Tapi gayanya kalau sudah membaca Sinchan aneh, dan tidak pantas. Serius dengan kening berkerut-kerut yang sebentar-sebentar berubah. Tidak pernah tertawa, bibirnya terkatup rapat. Seperti sedang membaca buku matematika.

Sekarang juga di tangannya tergenggam Sinchan edisi 39, sedang ditatapnya dengan serius, alis mata bertemu di tengah, jilbabnya agak miring. Lucu….

“Rin, sampai di mana Sinchannya?” tanyaku sambil membuka-buka agenda di meja.

Lihat selengkapnya