Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #16

ZAKIA: Bulan Keempat

Sore ini, kembali kudapati aku kembali berdiri di jendela, memandangi trotoar itu kembali, mematung, membayangkan kekasih. Kekasihku? Ya, kekasihku. Jika ia ada di sini, aku ingin mengatakan ini semua padanya:

Dra, aku tahu jarak kita jauh. Tapi seperti yang pernah kukatakan, jarak bukan masalah, bukan? Aku harap itu nyata, walau ada hal-hal yang seharusnya kita rasakan bersama, bersama yang berarti bertemu muka.

Makanya aku tidak pernah percaya telepati, itu Cuma omong kosong. Kalau telepati ada, kenapa juga Alexander graham Bell ditakdirkan jadi penemu telepon? Dunia ini aneh, ya, Dra, seaneh hubungan kita.

Kamu tahu? Baru sebentar kita jalani, entah kenapa aku merasa gamang. Seperti ada yang salah, seperti ada yang tidak sejalan dengan keyakinan kita, keyakinan kita berdua. Apa kamu merasakan hal yang sama? Kalau kamu juga merasakan itu, tolong beritahu aku, sisi mana yang sudah kita langgar? Setidaknya supaya kita nyaman kembali.

Ini sudah bulan keempat, tapi tidak ada surat yang datang darimu. Sebenarnya tidak ada masalah. Siapa juga yang butuh saling menyurati? Kita saling percaya, bukan? Aku percaya saat ini kamu mungkin juga sedang menatap lewat jendela kaca masjid, atau jendela plastic kamarmu, kita sama-sama menatap jalan di depan kita, jalan yang kalau disusuri benar-benar bisa saja mempertemukan kita di satu titik.

Aku juga percaya kalaupun saat ini di sana sedang mendung, atau bahkan hujan turun dengan lebat, mungkin kau sedang menatapi titik-titiknya dengan sendu. Mengingat masa lalu, dan kuminta kamu ingat janjimu untuk tidak menangis lagi. Kamu masih ingat, kan, pembicaraan kita, Dra?

Bukankah ketika itu saat kita juga sedang duduk di pelataran masjid setelah mengajar anak-anak TPA, saat itu hujan turun, jarak kita berjauhan, terpisah sepuluh ubin pualam. Kau berkata, “hujan selalu buat aku menangis.”

Saat itu aku menoleh, terkejut. “Aku kira laki-laki tidak menangis?”

“Laki-laki juga bisa menangis, dan itu memang harus.”

“Kenapa kamu menangis kalau hujan?”

“Mengingat masa lalu. Saat aku baru berumur lima belas tahun dan harus berjuang untuk mempertahankan hidup, sementara semua teman-teman lain sedang bergembira dengan orang tua mereka, mungkin mereka sedang kebanjiran cinta, bukan kebanjiran mimpi buruk.”

“Apa hubungannya dengan hujan?”

“Seringkali aku bangun di pagi hari saat hujan sedang turun. Saat itu aku selalu berpikir ini Cuma mimpi buruk, aku ingin ada yang membangunkanku, sebab aku sudah bermimpi terlalu lama.”

“Dan…,” kalimatku menggantung, menunggu jawaban.

“Dan… sampai sekarang hal itu masih terjadi, menangis saat hujan, terutama hujan di pagi hari.”

Lihat selengkapnya