Dra, aku masih mengulur gamang di sini, sudah tujuh bulan kita tidak bertemu. Tujuh bulan juga telah berlalu tanpa kabar yang nyata darimu. Mungkin aku yang salah karena akulah yang pertama berjanji akan mengirimkan surat. Sebenarnya surat-surat itu ada, ada delapan belas seluruhnya. Tapi kamu tak tahu, sebab aku tidak berani mengirimnya.
Kenapa?
Karena aku selalu kehilangan jejak orang yang kucintai, dan aku tak mau itu terjadi lagi. Aku takut, Dra, hubunganku denganmu justru makin menyadarkan aku bahwa aku masih manusia biasa yang sangat lemah. lagipula, seiring berjalannya waktu, rasa ragu dan kekhawatiran terus menghantui pikiranku, membuatku enggan untuk mengirimnya. Setiap kali aku memegang pena, aku merasa gemetar, takut dengan kemungkinan kehilanganmu atau takut akan reaksimu. Aku bertanya-tanya apakah keputusanku untuk menunda pengiriman surat itu benar, atau apakah aku hanya memperburuk situasi dengan menahan diri. Kehilanganmu adalah ketakutan terbesarku, Dra, dan aku tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Kemudian, ada satu ganjalan lagi. Ini berkaitan dengan identitasku. Identitas yang kusematkan pada pakaian yang kukenakan.
Biar kujelaskan perlahan-lahan, Dra...
Dalam hidup ini, sudah puluhan bahkan ratusan kali aku lewati dan mengerti tentang cinta pada Sang Pencipta. Jilbab di kepalaku ini saksinya, Dra, bagaimana seorang Zaki berusaha menjaga kesucian diri. Dengan bangga aku dan juga teman-temanku menyebut diri kami jilbaber. Sungguh suatu sebutan yang agung, sebutan yang berat sekali terutama untukku sendiri.
Namun sejak aku bertemu denganmu, aku menjadi lebih sadar seorang jilbaber juga seorang manusia. Seorang manusia yang lemah. Aku lemah melihat sorot matamu. Apalagi saat itu aku baru dikecewakan oleh seseorang bernama Irwan, lalu saat aku hendak menjauh malah kutemukan sorot mata yang sama pada dirimu. Hingga kutemukan kerinduan yang sama dengan yang pernah terasa.