Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #18

ZAKIA: Sebuah 'Tentang'

Zaki merasakan angin sejuk Pegunungan Puncak menyapa wajahnya. Udara segar yang mengalir menenangkan pikirannya yang kusut. Saat ini Zaki sedang menginap di villa milik orang tua Airin. Meskipun sedang jadwa liburan tengah semester, dia memilih untuk tidak pulang ke rumah. Meskipun sebagian besar mahasiswa memanfaatkan kesempatan ini untuk bersantai di rumah, Zaki memiliki alasan tersendiri untuk tinggal di Puncak. Beberapa acara dan proyek di kampus menuntut kehadirannya, dan dia juga ingin fokus berpikir tanpa gangguan dari lingkungan rumah.

Meskipun awalnya merasa sedikit kangen rumah tapi dia mulai menikmati ketenangan dan keindahan alam di sekitar villa Airin. Dengan pemandangan pegunungan yang hijau dan udara yang segar, Zaki merasa seperti menemukan tempat perlindungan dari kegaduhan dunia luar. Keputusannya untuk tinggal di Puncak menjadi semakin mantap saat dia menyadari bahwa ini adalah kesempatan baginya untuk merenung dan merencanakan langkah-langkah selanjutnya dalam perjalanan hidupnya. Meskipun terpisah dari keluarga, Zaki merasa bahwa keputusannya datang ke sini akan membantu dia mengambil keputusan dengan lebih baik.

Sepucuk surat akhirnya bisa terkirimkan pada Indra, penuh basa basi, sedikit kata cinta, dan berita dia tidak akan pulang semester ini. Ditutupnya kalimat harapan semoga rasa tidak akan berubah. Standar, tapi Zaki mengira itulah yang terbaik baginya. Sekadar meyakinkan bahwa cinta ini masih bersisa.

Surat itu ditulis dengan hati yang berdebar-debar, meskipun isi suratnya terasa standar. Zaki duduk di meja, pena di tangannya, sementara dia mencurahkan perasaannya ke dalam lembaran kertas putih. Setiap kata dipilih dengan hati-hati, dipertimbangkan dengan seksama, karena Zaki ingin memastikan bahwa setiap kalimatnya mengungkapkan apa yang dirasakannya dengan tepat.

Saat dia menulis, ada perasaan campur aduk di dalam hatinya. Di satu sisi, dia merasa sedikit kecewa dengan kesederhanaan suratnya. Dia tahu bahwa surat tersebut tidak memiliki kesan yang istimewa atau penuh dengan kata-kata indah yang mampu merangkul perasaan Indra dengan lebih dalam. Namun, di sisi lain, Zaki juga merasa bahwa itu adalah yang terbaik yang bisa dia tulis. Mungkin dia terlalu khawatir akan mengungkapkan terlalu banyak perasaan, atau mungkin dia hanya takut untuk terlalu jauh terbawa oleh emosi. 

Dalam kebimbangan itu, Zaki memutuskan untuk tetap pada kata-kata yang sederhana dan langsung. Baginya, itu adalah cara terbaik untuk menyampaikan perasaannya tanpa mengorbankan ketulusan dan kejujurannya. Meskipun terkadang dia meragukan keputusannya, dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa surat itu adalah ekspresi terbaik dari cintanya yang tulus.

Setelah menyelesaikan suratnya, Zaki merenung sejenak. Meskipun dia masih merasa ragu, dia memutuskan untuk mengirimkannya dengan harapan bahwa pesan cintanya akan sampai dengan baik ke hati yang dituju. Meskipun tidak yakin apakah surat itu cukup baik, Zaki berusaha menerima bahwa itu adalah yang terbaik yang bisa dia lakukan dalam situasi itu.

Sekarang dia sedang sendiri di villa. Airin, Ajeng, dan Ivana sedang belanja. Atau lebih tepatnya yang belanja hanya Ivana. Yang lain cuma tukang bawa belanjaan saja. Di saat-saat seperti inilah kemampuan Ivana akan terasa sekali. Zaki juga jadi mau tahu seberapa hebatnya kemampuan Ivana mengalahkan para pedagang di Puncak yang belum apa-apa sudah pasang harga mahal

Zaki duduk sendirian di ruang tamu villa, mata terpaku pada layar televisi yang terus berubah saluran setiap beberapa detik. Dia sengaja memilih untuk tidak ikut belanja bersama teman-temannya. Meskipun udara di luar begitu segar dan indah, dia merasa malas untuk keluar dari kenyamanan villa. Rasa malas itu merayap dalam dirinya, membuatnya lebih memilih untuk menghabiskan waktu sendirian. Namun, kesunyian itu membuatnya merasa agak hampa. Hanya kesunyian yang menyelimuti villa.

Zaki merasa seakan-akan terisolasi di dalam ruangan yang sepi. Dia mencoba menenangkan dirinya dengan menatap layar televisi tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ditayangkan. Pikirannya melayang ke berbagai tempat, terutama ke dalam dirinya sendiri. Kadang-kadang, dia merenung tentang keputusan-keputusan yang telah dia buat dalam hidupnya, termasuk mengapa dia memilih untuk tetap di villa daripada ikut belanja.

Meskipun kesendirian itu memberinya ruang untuk merenung, tapi juga membawa perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Dia berharap mungkin ada sesuatu yang bisa mengisi kekosongan itu, meskipun dia tidak yakin apa itu. Mungkin itulah sebabnya dia terus menatap layar televisi, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan perhatiannya dari kekosongan yang dirasakannya.

Namun tak lama kemudian bel pintu berbunyi, ketiga temannya sudah datang, penuh dengan barang belanjaan. Sayuran, beras, beberapa makanan kecil, dan bumbu masak. Semuanya diletakkan di meja dapur, dikelilingi mereka berempat.

“Gimana? Asyik belanjanya?”

“Huff, capek. Memang kalau belanja sama Ivana selalu begitu, deh, muter-muter cari yang murah, jadi lama!” Airin mengeluh sambil tersandar di sudut. Keringatnya deras mengalir.

“Eh, itu penting lho, Rin, aku cari yang murah, jadi uang kita bisa dipakai buat keperluan yang lain.”

Lihat selengkapnya