Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #19

AJENG: Dialog

“Manusia tidak terdiri dari satu, itu kata seorang sufi,” kataku.

Namaku Ajeng, hanya Ajeng tanpa embel-embel apa-apa. Kadang aku berpikir orang tuaku hemat juga member nama anak tunggalnya, lihat kan? Bahkan jumlah anaknya juga hemat. Hanya satu dari dua puluh tahun pernikahan mereka.

Saat ini sedang kupandangi tubuhku di cermin besar di lemari pakaian, tersenyum sendiri mengagumi wajahku yang kata orang cantik. Padahal aku rasa biasa-biasa saja.

Allahumma kamma hassanta khalqiifahassin khuluqii

Lalu kupandangi ketiga sahabatku yang kini seperti mengambang di atas sofa putih kaku, berjejer seperti deret pasien di ruang tunggu rumah sakit, menghadap ke arah televisi yang hingar bingar, mengirimkan cahaya biru kasat mata dari tabung hampa udaranya. Channelnya berpindah setiap satu menit sekali, dan diselingi adegan berebut remote control.

Di belakang mereka, terbentuk jendela villa yang bingkainya dicat merah. Menggambarkan udara sore, hampir maghrib. Satu dua burung sesekali melayang seperti gambar pada lapisan bening udara. Subhanallah, indah sekali ya Allah.

Masih kupandangi ketiga karibku. Mereka berbeda satu sama lain.

Airin Rahimi, penulis, komikus. Dia termasuk anak keluarga kaya, tapi tidak pernah membanggakan itu. Ke kampus pun hanya naik angkot, padahal dilihat dari segi mana pun juga, dia bisa minta dibelikan motor atau mobil. Wajahnya sederhana dengan kacamata minus satu bertengger, membuatnya selalu kelihatan pintar dan serius. Tidak banyak yang tahu kegemaran utamanya. Komik Sinchan, entah berapa sudah koleksinya, entah berapa juga yang dia tinggal di lemari arsip keputrian.

Puti Ivana Defianti. Suara cempreng, badan tinggi di atas rata-rata, tanpa kacamata. Paling jago belanja. Hanya dia yang selalu kelihatan riang di antara kami berempat. Kalau diumpamakan lukisan dia seperti lukisan abstrak, hampir tidak tertebak. Semua ide dan pemikirannya tidak ada yang tahu sampai benar-benar dikeluarkan. Tidak heran dia bisa juara debat tingkat nasional.

Lalu Afrina Zakiah, paling lembut, paling keibuan, jarang bicara, wajahnya seperti yang sombong, padahal tidak sama sekali. Penyakit utamanya dia selalu merendah, bahkan pada kondisi di mana dia harusnya tidak seperti itu. Padahal prestasinya lumayan bagus, hafalan Al-Qurannya tinggi, mengajinya lancar, malah tajwidnya paling bagus di antara kita. Satu hal lagi, dia jago buat puisi, puisi-puisinya selalu bagus, tapi itulah, karena dia nggak pernah punya rasa percaya diri, hampir tidak ada yang tahu kemampuannya.

Kawan-kawanku: ketiganya dengan identitas masing-masing, tapi jikalau mereka mau melepaskan itu, aku berani taruhan mereka semua sama, termasuk aku dan yang lain. Makanya kita manusia tidak boleh saling menjatuhkan, kita semua sama!

Dari luar mereka berjilbab, termasuk aku, tapi di dalamnya mereka punya kelemahan dan itu yang sering dilupakan orang. Guru agamaku di SMA pernah bilang kalau kita sudah pakai jilbab jangan sekali-kali berbuat hal-hal yang negatif. Katanya sekali seorang berkerudung berbuat negatif, sepuluh tahun dosanya akan diingat orang.

Sebuah jilbab. Kadang membuat aku tersenyum sendiri. Saat memikirkan bagaimana selembar kain bisa menghalangi seorang wanita dari api neraka, juga menutupi aib kita sejari-hari. Subhanallah. Kami para manusia yang tidak sempurna ini, yang kadang masih tidak ingat pada Penciptanya, yang lebih mementingkan urusan dunia, yang masih dikuasai nafsu sendiri.

Seperti Airin misalnya, tidak ada seorang pun yang menyangka seorang berjilbab seperti dia lebih suka komik Sinchan daripada Tafsir Fi Zhilail Qur’an, atau Ivana yang ternyata lebih suka menyanyikan lagu Britney Spears daripada Bestari, atau Zaki betapa jilbaber lembut dan perasa seperti dia lebih mudah jatuh cinta pada seorang lelaki, bahkan menjalin hubungan dengan lelaki itu. Atau aku? Kadang aku merasa malu saat orang memuji-muji hafalan Al-Quranku yang sudah di atas dua puluh juz, atau tajwidku yang bagus, padahal mereka tidak tahu aku juga punya kekurangan.

Makanya aku setuju saat ada yang bilang manusia tidak terdiri dari satu. Ada sifat-sifat yang bisa dipecah dan diperbaiki sendiri tanpa mengubah yang lainnya. Makanya aku jarang sekali protes pada teman-temanku yang lain sedang baca komik atau menyanyi Baby One More Time. Justru itu semua membuktikan bahwa mereka masih manusia biasa. Dan fakta itulah yang biasa dilupakan orang. Ah, mungkin orang-orang itu kadang harus membuka mata lebih lebar.

Lihat selengkapnya