Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #21

MEREKA: Sebuah Senja yang Buram

Kembali saat sore di pelataran masjid, suasana hening menyelimuti setiap sudut. Langit senja terhampar luas di atas, namun awan-awan hitam pekat tak bersahabat telah berlalu, meninggalkan jejak-jejak lembut awan putih yang terhampar di ufuk barat. Hembusan angin sepoi-sepoi menyapu halus, membelai rambut dan wajah dengan lembut, menyegarkan jiwa yang lelah setelah beraktivitas seharian. Saat itu, hujan tidak turun, namun tetesan embun menari-nari di ujung daun pepohonan, menyirami tanah kering yang merindukan sentuhan lembut dari langit.

Di pelataran masjid yang luas itu, jarak terpisah sepuluh ubin pualam terlihat seperti garis-garis bergerak yang membelah ruang dengan indah. Masing-masing ubin bersandar pada tiang-tiang besar bercat putih setengah terkelupas, menambah pesona klasik dan keanggunan yang menghiasi tempat suci ini. Seakan-akan waktu telah berhenti sejenak, memberi kesempatan bagi setiap pengunjung masjid untuk merenung dan berkontemplasi di bawah cahaya senja yang memancar lembut melalui celah-celah atap, menciptakan suasana damai dan kedamaian yang begitu khas dari tempat ibadah ini.

“Tumben kamu pulang mendadak?”

“Iya, ada yang harus kita bicarakan, Dra!”

Ya Allah, betapa sendu wajah itu, ada apa sebenarnya?

“Kita? Maksudmu tentang kita?”

“Ya, mungkin ini rumit tapi semoga kita bisa mengerti.”

“Ada apa? Oh ya, surat terakhir kamu sudah sampai, baru seminggu yang lalu sudah kubaca. Makasih ya, kamu masih percaya sama aku.”

Wajahnya begitu riang, aku tidak bisa mengatakan ini, aku takut keriangan itu hilang dan tidak kembali lagi.

Sesaat hening, sementara sore makin bergerak, tidak cepat tapi nyata.

“Ada apa, Ki? Kok, malah diam?”

Hening lagi, kali ini agak lama.

“Kita sudah ‘jalan’ berapa lama, Dra?”

“Apa itu penting?”

Hening, tapi sebuah gelengan sudah terjadi.

“Yah, memang tidak penting. Aku cuma mau tanya, apa kamu merasa nyaman dengan hubungan kita?”

“Kamu ngomong apa, sih? Hubungan kita tidak bisa disebut nyaman, tapi aku puas. Kita bertemu lewat surat pun aku tidak masalah, apalagi kalau bisa bertemu seperti ini. Ada apa, sih?”

Lihat selengkapnya