Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #22

AIRIN: Kisah Masa Lalu

Namaku Airin, Airin Rahimi, dan tadi siang kudengar sebuah berita: Zaki memutuskan sudah cintanya pada Indra? Itu berita yang kudengar. Cukup mengejutkan terutama buatku sendiri. Haruskah aku bilang pada Zaki kalau aku sebenarnya mengenal Indra yang dia maksud?

Seorang Indra, terutama yang kukenal, akhirnya bisa jatuh cinta juga. Tadinya aku bersyukur karena aku tahu Indra adalah orang yang paling tertutup. Setidaknya menurutku. Tapi aku tahu kalau Indra tipe orang yang setia, dia tidak akan bermain-main dengan urusan cinta, itu yang kutahu.

Namun, bagaimanapun juga, ini membuatku merasa was-was. Aku merasa seperti berada dalam posisi yang sulit. Sebagai teman baik Zaki, apakah aku harus memberitahunya bahwa aku mengenal Indra? Ataukah lebih baik aku diam saja? Entahlah, rasanya seperti aku terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama sulit.

Memang aku kenal Indra sudah lebih dari lima tahun yang lalu, saat kami masih belasan tahun. Saat itu Indra masih berkutat di dunia remaja. GOR Saparua adalah tempat bermainnya. Dia dikenal sebagai pemain andal, wajahnya juga lumayan. Dia terlalu dingin saat di lapangan, tapi bisa dipastikan siapa pun yang menontonnya dia bermain akan menjadi semangat.

Hanya saja aku tidak bisa dibohongi, dibalik semuanya itu, aku tahu dia pernah mengalami penderitaan hidup yang besar, mungkin bukan jenis penderitaan yang biasa dialami anak belasan tahun. Sorot matanya mengatakan hal itu. Dia satu-satunya pemuda yang memiliki sorot mata dingin, seperti tidak pernah menyerah, bahkan terkadang ada kesan angkuh di sana.

Entah apa yang membuatnya begitu kuat, apa yang membuatnya bertahan, meskipun aku tidak pernah bertanya secara langsung. Apakah itu kesedihan masa lalu yang telah terkubur dalam-dalam, ataukah keinginan yang kuat untuk mencapai impian? Saya tidak tahu. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang menggerakkan hatinya, sesuatu yang membuatnya terus maju meskipun badai datang menerpa.

Setiap kali aku melihatnya, aku merasa seperti ada cerita yang belum terungkap sepenuhnya. Dan entah mengapa, rasa ingin tahu itu selalu menggelitik di dalam benakku. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik kejadian-kejadian yang telah membuatnya menjadi sosok yang tegar seperti sekarang.Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya, dan kesempatan datang sore itu….

 

… aku sedang duduk di pinggir lapangan. Indra datang mendekat dan langsung duduk di sampingku. Padahal aku belum kenal dengannya. Sebenarnya aku sedang agak muram, ada masalah di sekolah, tapi masak dia mau kuusir begitu saja. Kuperhatikan wajahnya yang berkeringat, padahal baru satu game dia lewati….

“Boleh minta airnya?” tanyanya tiba-tiba.

“Eh, ya silakan…!” Aku agak tergagap, kukira dia tidak akan bertanya.

Kuperhatikan lagi dia, air di botol minumku langsung tinggal setengah. Cepat sekali.

“Kenapa kamu murung? Di lapangan ini tidak boleh ada yang murung.” Ujarnya datar tanpa menoleh sedikit pun. Pandangan itu tetap lurus ke arah lapangan.

Aku hanya mengangkat alis. Peduli apa dia? Pikirku.

“Kamu sendiri tidak pernah tertawa di lapangan, kamu selalu sok serius!”

“Tapi aku tidak murung. Kalau tidak pernah tertawa dan serius itu memang pembawaanku.”

Aku mengatupkan bibirku, gemas. Satu lagi sifat yang aku tahu, Indra ternyata keras kepala, tidak mau kalah. Yah, itulah salah satu sifat cowok, dan aku tidak suka.

Aku teringat sesuatu. “Dra, kemarin ada salam dari temanku.”

“Siapa?”

“Namanya Monika, tuh anaknya…!”

Indra tampak menoleh ke arah yang kutunjuk. Temanku Monika tampak sedang berdiri di gerbang GOR, bersandar ke Starlett putihnya. Rupanya dia melihat Indra juga, dia langsung melambai sambil tersenyum. Kuyakin senyumnya itu bukan untukku.

“Cantik juga…” Indra kembali memandang ke arah lapangan.

“Kamu mau? Nanti aku bilang ke dia.”

Indra menggeleng acuh. “Dia bukan tipeku, lagipula dia orang kaya.”

“Memang kalau kaya kenapa?”

Lihat selengkapnya