“Kamu tahu dari mana Rin?” Zaki menatapku penuh selidik.
“Dari Ajeng.” Kujawab pendek, tidak ada gunanya menyembunyikan masalah ini dari Zaki, cepat atau lambat dia pasti tahu narasumbernya, lebih baik dia tahu sekarang.
“Yah, pasti dia sudah cerita semuanya, kan?”
“Tidak juga. Ajeng cuma cerita sedikit. Kamu tahu sendiri dia seperti apa. Kalau yang tidak penting dia tidak bicarakan.”
“Iya, sih! Kata kamu sendiri bagaimana?”
“Itu sih hak kamu. cuma, aku mau tahu, alasan kamu sebenarnya apa, sih?”
Zaki menunduk dalam, terlihat sekali masih ada beban di hatinya. Zaki terpekur dalam diam. Tak lama kemudian bahunya terangkat, lalu terdengar embusan napasnya, berat. Lagi ia menarik napas dan mengembusnya dengan berat. Tiba-tiba bahunya berguncang hebat, tak kuat menahan isak, Zaki pun luruh.
“Aku juga tidak tahu, Rin….” Terbata-bata ia mengatakannya di sela tangisnya. Tubuhnya terguncang semakin hebat, aku hampir bisa merasakan beban yang merajai hatinya saat ini. Ah…, aku tak pernah bisa menangis sehebat itu untuk hal yang sebenarnya sangat baik untuk kulakukan.
“Lepasin aja, Ki…!” kusodorkan sebungkus tisu. Zaki masih terisak. Kutaruh saja tisu itu dipangkuannya. Lalu kukeluarkan komik Sinchan dari tasku, lebih baik aku lanjutkan baca Sinchan. Aku ingin tahu bagaimana kabar Himawari sekarang.
Sepuluh menit….
Lima belas menit….
Dua puluh menit, Zaki masih terisak-isak juga. Aku jadi tidak sabar.
“Tangismu ini tangis apa? Tangisnya menyesal atau tangis bingung?!”
Zaki menggeleng. Air matanya sudah reda, tinggal isaknya saja. Perlahan kudekati dia, kugenggam tangannya.
“Ada yang belum kauceritakan pada Ajeng, kan?”
Zaki mengangguk.
“Mau kauceritakan padaku sekarang?”
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya? Please….”
“Kamu percaya aku, kan?”
Zaki mengeringkan matanya. Duduknya berputar sedikit ke arahku. Dia siap bercerita, aku pun menutup komikku, siap mendengarkan.