“Keputusan, itu yang harus ada!”
Kalimat Rija—temanku—itulah yang terus terngiang –ngiang di telingaku. Aku tahu aku betul-betul tidak punya pilihan lagi. Sudah kutumpahkan semuanya pada Rija, dan itulah yang kudapat. “Kamu tidak bisa terombang-ambing seperti ini, kan? Tentukan segera, tanya dia, dan terimalah apa yang terjadi.”
Ya, Rija benar. Tapi aku juga tidak tahu bahwa bagaimana mempertanyakannya.
“Tidak ada cara lain, kamu harus melamarnya segera!”
“Apa aku bisa, Ja?”
“Jangan tanya sekarang, yang penting coba dulu! Bagaimana kita tahu hasilnya sebelum dicoba?”
“Caranya?”
“Tinggal bicara sama Ustadz Shaleh. Kalau mau, aku temani.”
“Hmm, iya deh…! Kapan, ya?”
“Nanti malam? Setuju, kan?”
Aku hanya bisa mengangguk. Dalam keadaan terpuruk ini, aku merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa jalan keluar. Setiap langkahku terasa begitu berat, dan tiap napasku terasa seperti beban yang semakin menekan. Aku bertanya-tanya, mengapa hidup harus begitu rumit? Mengapa aku harus menghadapi semua ini? Aku hanya bisa mengangguk, meskipun hatiku terasa hancur berkeping-keping. Rasanya terlalu cepat, terlalu cepat untuk aku menerima kenyataan ini. Mungkin Zaki juga tidak siap, mungkin dia juga merasa terjebak dalam situasi yang sama dengan aku. Tapi apakah kita memiliki pilihan? Apakah kita bisa mengendalikan segalanya?
Aku merenung sejenak, mencari jawaban dalam kegelapan yang menyelimuti pikiranku. Mungkin ini adalah bagian dari rencana-Nya, mungkin ini adalah ujian yang harus kita lalui. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa segalanya akan baik-baik saja, bahwa kita hanya perlu percaya pada-Nya dan mengikuti jalan yang telah Dia tetapkan.
Namun, dalam kehampaan yang kurasakan, terbersit pula keraguan dan ketidakpastian. Aku bertanya pada diriku sendiri, apakah aku benar-benar tidak punya pilihan? Apakah aku harus menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa bisa berbuat apa-apa?
Terkadang, aku merasa seolah-olah Tuhan sedang bermain-main dengan nasibku. Aku bertanya-tanya, apakah Dia sedang tersenyum melihat aku terjebak dalam kebimbangan dan keputusasaan ini? Bukankah Dia juga Mahahumoris?