Masihkah Senyum Itu Untukku?

Hendra Purnama
Chapter #27

INDRA: Surat Untuk Zaki

Assalamualaikum wr, wb

Teriring salam ketika hendak kugoreskan beberapa baris kata dalam lembaran ini, seperti yang selalu terucapkan sebagai kebiasaan dari seorang muslim kepada saudaranya sesama muslim. Sungguh betapa diri ini tergerak untuk melakukan sesuatu yang lebih ketika pada satu siang yang cukup terik kuterima surat darimu. Kata-katamu begitu akurat menusuk cakrawala realitas, memaksaku untuk mengorbankan lagi sisi-sisi terang dalam hidupku untuk kulapisi dengan kelamnya amarah yang bergolak.

Semenjak terbentuk satu titik temu dalam hidup kita, sesungguhnya belum pernah sekalipun kulihat dirimu tersaput amarah sedemikian rupa. Suratmu itu memang halus tapi aku tahu kamu marah saat menuliskannya.

Apakah benar kau marah?

Sungguh betapa berdosanya diriku bila seandainya benar selimut amarahmu disebabkan oleh diriku. Dan sungguh betapa besarnya murka Allah padaku yang hina ini bila seandainya akulah penyebab lunturnya kesabaran hamba-Nya yang shalehah ini, hamba-Nya yang paling terjaga, hamba-Nya yang hampir sempurna.

Bila bukan karena seorang sahabat dekat yang mendampingiku saat aku melepas kata demi kata dari tulisan tanganmu, aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kau tahu… betapa lembut remasan tangan Rija di bahuku, dan betapa lembut suaranya ketika dia mengatakan, “Shalatlah, Dra… semoga Allah memberimu kesabaran.”

Seribu maaf kuhaturkan padamu, tapi seribu tanya juga kutitipkan padamu, tidak usah kau yang harus menjawabnya. Biarkan waktu yang akan membuktikan dan biarkan desir angin yang membawa jawabannya ke hatiku. Kita akan lihat nanti apakah aku akan menangis ataukah engkau yang akan tertawa? Sungguh hanya Allah yang Mahatahu akan hal ini.

Kuingat ketika kau menanyakan apakah itu surat cinta? Kujawab sekarang… bukan, itu bukan surat cinta, sebab aku sama sekali sudah lupa yang bagaimana yang disebut surat cinta.

Sejak dulu aku mencoba melepaskan keduniaanku untuk sekedar sedikit berkeringat menapak jalan para pejuang agamaku. Kucoba mengejar semua yang kutinggalkan walau dengan susah payah. Walaupun harus kuakui padamu saat jejak pertama kutanamkan di jalan itu, semuanya kulakukan hanya untuk mengikutimu, dan pula jejak-jejak berikutnya aku berusaha melampauimu hanya untuk membuatmu terkagum-kagum.

Segala puji hanya bagi Allah yang telah membolak-balikan hati manusia, dan segala puji hanya bagi Allah yang pada pertengahan jalanku Dia menarikku dari jalanmu yang sedang kutempuh. Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Allah menempatkanku untuk berjalan di jalanku sendiri, dan pada hatiku dititipkan sebentuk keyakinan bahwa jejak kakiku ini pun akan menuju pada-Nya—yang setidaknya kuharapkan kau pun akan menuju jalan yang sama.

Maka sejak saat itulah kupahami bahwa hakikat cinta di hati ini tidak akan pernah terganti, hanya caraku mengekspresikannya yang akan berubah.

Ketika aku sedang menjejak kerikil-kerikil taja, aku tetap teringat padamu. Aku takut kau akan menyerah menapak jalan itu. Tidak,,, kalau kau tahu, sebenarnya aku tidak takut kehilanganmu, tapi aku hanya takut kau akan menyerah menghadapi kerikil yang sama dengan yang kuhadapi.

Segala amarahmu padaku, segala permintaanmu padaku, dan segala nasihatmu padaku kuterima dengan tulus, bahkan pada saat aku menerima itu semua, aku berharap diriku yang kotor ini bisa sedikit berguna untukmu seperti aku pun berharap hal yang sama pada saudara-saudaraku yang lain.

Andai saja kau tahu, bahwa selama aku masih berjalan di jalan para pejuang itu, aku akan selalu memerhatikan jejak langkahmu—mungkin inilah salah satu kesalahanku. Mungkin inilah yang menyebabkan semua orang berkerut heran saat mereka memandangku. Mungkin inilah yang membuat guruku sendiri mengatakan, “Carilah jalan lain, Dra, sesungguhnya Allah tidak akan ridha pada hamba-Nya yang menduakan cintanya dengan manusia.”

Lihat selengkapnya