1 Desember 2019
Perumahan Cilandak Townhouse, Jakarta Selatan.
Bima memandangi sepasang tangannya yang berkeringat. Lalu, ia berpaling ke kiri, pada ayahnya yang menatap lurus ke depan. Seperti biasa, wajah pria tua itu kaku. Ekspresinya tak pernah berubah, baik ketika ia tengah mengganti bohlam lampu yang putus, atau seperti sekarang, mengantar anak lelaki satu-satunya melamar pujaan hati.
Kemudian, tatapan Bima jatuh ke kursi kosong di sebelah ayahnya. Kursi yang seharusnya diduduki oleh ibu Bima. Perempuan yang kematiannya sepuluh tahun lalu telah mengubah segalanya.
“Lihatlah, Bapak,” bisik Bima dalam hati. “Aku akan menjadi kepala keluarga yang jauh lebih baik.”
Sudah berkali-kali Bima berada di ruang keluarga Nessa. Ia sudah pernah minum kopi, nonton Netflix, main catur dengan ayah Nessa, serta melakukan berbagai aktivitas lain yang sebaiknya tak dibahas di ruang publik. Tapi, kunjungan kali ini istimewa. Bima gugup. Ini luar biasa, karena Bima hampir tak pernah merasa gugup.
Bima harus memuji vendor dekorasi yang disewa Nessa untuk acara lamaran hari ini. Mulai pagar rumah hingga ruang keluarga telah disulap menjadi utopia rustic penuh dengan bunga-bunga mawar dan lili putih favorit Nessa. Daun-daun tanaman palem dan monstera deliciosa menyembul artistik di berbagai sudut, berebut ruang dengan lampu-lampu hias berbentuk heksagonal yang bersinar dramatis. Aroma-therapy diffuser menguapkan wangi lemon grass ke seluruh penjuru ruangan.
Rumah mewah keluarga Nessa terlihat ekstra elegan siang itu. Bima selalu mengagumi bagaimana orang-orang kaya tampaknya mampu menciptakan momen terbaik dari setiap peristiwa penting dalam hidup mereka.
Tiba-tiba saja, suasana menjadi hening. Orang-orang yang sebelumnya saling bercakap dengan volume rendah berhenti seketika. Nessa muncul di puncak tangga dengan diapit ibunya dan Inka, sahabatnya. Gadis itu mengenakan kebaya berwarna salem berpotongan dada rendah dan kain batik ketat. Rambut hitam panjangnya disanggul anggun di atas leher. Ia tersenyum bahagia ketika tatapannya bertemu dengan Bima.
Bima menahan napasnya beberapa detik. Sekelebat ingatannya kembali ke kota Boston di tahun 2008 berikut rangkaian peristiwa yang mengubah jalan hidupnya. Ia akan mencatat momen itu sebagai saat ia menyadari, bahwa Nessa adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah dibuatnya.
***
28 Desember 2019
Kantor perusahaan tembakau multinasional. Gedung perkantoran One Pacific Place, SCBD, Jakarta Pusat.
“Jadi, yakin ya, hari ini last day?”
Nessa tersenyum menanggapi pertanyaan Augie, bosnya, yang sudah diajukan untuk keempat kalinya hari ini.
“Yakin, Mas Augie,” Nessa tak urung menjawab. “Harusnya Mas Augie ikut senang, dong. Bikin clothing line kan impian gue sejak kecil. Sekarang, berkat bimbingan Mas Augie, akhirnya gue bisa mewujudkannya.”
“Elah, bisa aja,” Augie tergelak. “Nyesel gue ngajarin lo bisnis. Gue jadi kehilangan anak buah kesayangan.”