Masker dan Kopi Literan

Mutiarini
Chapter #2

Bab 2 : Bima dan Nessa

26 Februari 2008

The Revolution Hotel, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.

Harvard National Model United Nation, disingkat HNMUN, adalah simulasi konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa yang diadakan setahun sekali oleh Harvard University, di kota Boston, Amerika Serikat. Simulasi konferensi ini melibatkan puluhan delegasi mahasiswa dari berbagai negara. Tujuan acara ini, selain dari membina kerukunan antarbangsa sejak dini, adalah membekali anak- anak muda cerdas pesertanya dengan kemampuan komunikasi publik, negosiasi, dan berpolitik.

Nessa tak berhenti mensyukuri keberuntungannya. Tahun ini adalah kali pertama kampusnya berpartisipasi dalam HNMUN. Karenanya, tak banyak mahasiswa yang tertarik mendaftar. Nessa lolos proses seleksi dengan cukup mudah. Tapi, bukan hal itu saja yang membuatnya ingin melantunkan puji-pujian pada Tuhan Yang Maha Esa.

Siapa sangka, kampus mereka hanya mengirim dua orang delegasi tahun itu. Siapa sangka pula, delegasi satunya adalah Bima, senior yang sudah dikagumi Nessa sejak hari pertama masa orientasi. Bima memang tidak tampan seperti para influencer Instagram, tapi cowok ini jelas punya kharisma yang meluluhkan Nessa sekali jadi. Sebagai Ketua Panitia Masa Orientasi, Bima selalu terlihat cerdas dan berwibawa. Tubuhnya tegap, kulitnya sedikit gelap, suaranya dalam. Nessa bahkan tak keberatan Bima memintanya berlari mengelilingi lapangan basket sebanyak tujuh kali ketika gadis itu datang terlambat di hari kedua masa orientasi.

Memasuki bulan Februari, musim dingin tengah bersiap-siap meninggalkan Boston. Salju sudah tak lagi turun. Tapi, hawa beku masih terasa menggigit. Matahari belum berminat menampakkan diri di langit kelabu kota Boston. Sebaliknya, angin dingin menerobos setiap celah menusuk-nusuk kulit.

Sekali lagi, Nessa mencuri pandang pada Bima yang gemetaran. Tangan cowok itu pasti sudah mati rasa karena kedinginan, tapi ia tetap bersikeras menulis pada buku catatannya. Nessa memperhatikan jaket Bima yang terlalu tipis untuk suhu dua belas derajat celcius, juga leher Bima yang tak tertutup syal. Nessa mendesah iba.

“Bim, lo kedinginan ya? Mau masuk?” tanya Nessa.

Bima mengangkat wajah dari catatannya. Ia lalu tersenyum. “Nggak apa-apa kok, ini tinggal sedikit lagi. Habis itu kita bisa bahas di dalam,” gigi Bima berkeletuk ketika menjawab.

Mereka sedang duduk di bagian luar coffee shop yang terletak di mulut lobi hotel. Jaringan wifi hanya bisa diakses di coffee shop ini. Sayangnya, semua tempat duduk di bagian dalam coffee shop sudah penuh terisi. Hotel ini adalah persinggahan sementara yang disediakan Konsulat Indonesia untuk mereka sebelum rangkaian acara HNMUN yang sebenarnya dimulai besok.

Bima dan Nessa mendapat tugas mewakili NGO penggiat isu lingkungan dalam simulasi konferensi HNMUN. Mereka harus mengajukan mosi untuk mendapatkan persetujuan dan langkah konkret negara-negara adidaya dalam penanganan masalah perubahan iklim. Bima bekerja keras sebulan terakhir mengumpulkan data dan menyusun proposisi dan argumen. Nessa mengikuti apa pun yang Bima instruksikan seperti asisten yang patuh.

Bima memberi tahu Nessa dirinya mendapat sumbangan dari kampus untuk bisa menjadi delegasi HNMUN. Bima jelas menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya supaya tidak mempermalukan almamater. Nessa sudah sering melihat Bima berbicara di hadapan publik serta mengorganisir massa dalam berbagai kegiatan kampus, tapi ini adalah kali pertama Nessa menyaksikan kecerdasan Bima dari dekat. Nessa mengeluh dalam hati.

Bagaimana kamu bisa begini mengagumkan?

 

“Benar, nggak kedinginan?” Nessa mengulang pertanyaannya.

Kali ini, Bima tertawa. Ia menggosok-gosok kedua tangannya. “Ini kali pertama gue ke luar negeri. Gue pikir karena musim dingin sudah lewat, nggak bakalan sedingin ini,” kata Bima. “Ah well, lagian gue memang nggak punya uang buat beli pakaian hangat.”

Nessa menggigit bibir. Ia lantas melepas syal hitamnya dari leher, dan mulai melilitkannya di leher Bima.

“Jangan…,” kata Bima rikuh, berusaha mengembalikan syal Nessa.

“Sudah, pakai aja,” tukas Nessa. “Gue masih bawa banyak. Semua usaha kita sia-sia kalau lo sakit di hari pertama.”

Bima menatap Nessa ragu. Ia lalu tersenyum. “Thanks,” katanya kemudian.

***

27 Februari 2008

Hotel Boston Park Plaza, Boston, Massachusetts, Amerika Serikat.

Lihat selengkapnya