8 April 2017
Lucy in The Sky, SCBD, Jakarta Pusat.
“Oke Bim, berdasarkan analisa tim personal financial planner gue, kondisi keuangan lo sangat-sangat aman,” Keenan berkata serius seraya menunjukkan sebuah slide berisi neraca keuangan lewat tabletnya. “Lo sudah punya properti, cicilan cuma sedikit, dana darurat aman untuk beberapa tahun ke depan. Lo punya lebih dari cukup liquid asset untuk diinvestasikan ke hal lain.”
Bima mengangguk. Keenan yang saat itu baru setahun mendirikan bisnis jasa konsultasi keuangan telah memberi Bima diskon untuk jasa financial planner. Bima bahkan mendapat laporan langsung dari Keenan sang pemimpin perusahaan. Untuk layanan ekstra ini, Bima harus rela menemani Keenan datang ke sebuah acara musik independen di salah satu spot ter-hip di Jakarta.
“Menurut Mas, gue harus nabung berapa lama lagi untuk punya usaha sendiri?” tanya Bima.
“Sekali lagi, tergantung jenis usaha yang ingin lo buat. Tapi, kalau jumlah modal lo nggak berubah dari yang ditargetkan di sini, dan nggak ada perubahan drastis pada pola konsumsi lo, harusnya bisa dua- tiga tahun lagi,” jawab Keenan.
Bima tersenyum. “Oke, sounds great,” katanya.
Keenan balas tersenyum. “Tapi, gue salut sama lo, Bim. Umur baru dua puluh sembilan, tapi portfolio aset sudah sebagus ini. Gue juga tahu lo sempat bantu bayarin kuliah adik lo. Kok bisa sih?”
Bima mengangkat bahu. “Pekerjaan gue memang berubah, Mas. Tapi, gue tetap cuma anak seorang guru SMP sederhana dari Solo. Gue nggak pernah beli barang bermerk, nggak perlu jalan-jalan kecuali untuk business trip, dan nggak merasa perlu melakukan hal aneh- aneh lainnya,” jawabnya.
“Iya, tapi lo juga dapat promosi jabatan hampir tiap tahun karena sales performance lo selalu outstanding, kan?” Keenan memutar bola mata. “Admit it, Bima. You’re a bloody overachiever. Nggak banyak orang seumuran lo bisa sampai di level ini, secepat ini. Lo tahu itu kan?”
Bima hanya terkekeh.
“Ngapain sih, lo mau buka usaha segala, Bim?” Keenan menyelidik. “You are living the millennial dream. Jabatan, uang, kebebasan. Apa lagi yang kurang?”
Kali ini Bima menggeleng. “Nggak, gue nggak bebas. Belum,” jawabnya kemudian. “Gue ingin kebebasan waktu di samping kebebasan uang. Gue nggak mau nantinya jadi kepala keluarga yang cuma bisa ngasih uang, tapi nggak bisa ngasih waktu.”
Atau seperti Bapakku, yang tak pernah mampu memberikan keduanya.
“Aha! Udah mulai ngomongin keluarga!” Keenan tergelak. “Cari cewek dulu sana! Eh, atau cowok? Terserah lo deh, Bim, I won’t judge.”
Bima menyeringai. “Gue pesan minum dulu,” katanya sambil berdiri.
Bima bangkit dari sofa dan berjalan menuju bar. Jam menunjukkan pukul sebelas malam, dan sebentar lagi acara inti akan dimulai. Pengunjung mulai memadati area roof top itu. Bima harus menyibak kerumunan untuk bisa sampai ke bar.
Saat itulah, Bima melihatnya. Gadis itu berdiri di bawah langit malam Jakarta yang terbuka di atas kepalanya, dan dihujani cahaya lampu dari gedung- gedung pencakar langit terdekat. Nessa, secantik yang diingat Bima terakhir kali melihatnya delapan tahun yang lalu.
Sesuatu memberi tahu Bima, bahwa akhirnya ia layak untuk Nessa.
***
7 Januari 2020
Common Park, Kemang Timur, Jakarta Selatan.
Tak banyak penikmat kopi di Jakarta yang sungguhan memahami bahwa kualitas segelas iced latte yang mereka nikmati sambil lalu itu dihasilkan dari serangkaian proses rumit mencari konsultan kopi yang kredibel, berburu biji kopi terbaik hingga ke pedalaman Sumatera, menyeleksi barista berpengalaman mumpuni, dan mencicipi ratusan formula hingga insomnia berminggu-minggu.
Bima tak punya masalah dengan itu semua. Baginya, keseluruhan proses itu terbayar lunas ketika pengunjung Common Park memadati coffee shop nya di hari pembukaan. Dua orang barista dan seorang kasir yang dipekerjakannya belum berhenti bekerja sejak pukul delapan pagi. Bima bahkan harus turun tangan mengantarkan pesanan ke meja-meja. Mereka yang tak kebagian tempat duduk, harus rela memesan dalam kemasan take away.