Masker dan Kopi Literan

Mutiarini
Chapter #4

Bab 4 : Kompromi

25 Februari 2020

Restoran Bakerzin, Plaza Senayan, Jakarta Pusat.

Nessa biasanya berhasil melewatkan sesi pertemuan keluarga bulanan ini dengan alasan pekerjaan. Tapi kali ini, ia tak kuasa menolak permintaan ibunya.

“Gimana Nessa, jadi dong, nikah tahun ini?”

Yang bertanya adalah Acil Dessy, adik perempuan pertama ayah Nessa. Pertanyaan itu disampaikan dengan intonasi mendesak dan ekspresi ingin tahu yang berlebihan. Nessa mencium tanda bahaya di udara.

“Doakan saja ya, Acil. Kalau nggak ada halangan, mungkin akhir tahun,” jawab Nessa.

“Ah, buat apa lama-lama. Umur kamu kan sudah hampir tiga puluh. Tunggu apa lagi?” sahut Acil Mega, adik perempuan bungsu ayah Nessa. “Atau ada masalah biaya? Ya, Sari?”

Sari, ibu Nessa, mengangkat kepala dari salmon en croute nya. “Ndak ada, Kak. Insha Allah semua tinggal menunggu kesiapan Nessa dan Bima,” jawabnya lembut.

“Ya, cepatlah. Anggita pas seumur Nessa, anaknya sudah dua,” Acil Dessy mengedik pada putrinya yang duduk di pojok meja. Anggita yang tengah menyusui bayinya, si anak ketiga, di bawah nursing cover mengangguk. “Anak perempuan itu jangan tunggu tua baru dinikahkan, Sari. Keburu kabur nanti calonnya.”

Sari hanya tersenyum dan mengangguk. Giliran Nessa menghembuskan napas jengkel. Jika ada pertandingan untuk bersabar, ia yakin ibunya akan menjadi juara dunia.

Nessa sudah mendengar kisah cinta orangtuanya sejak duduk di bangku SMP. Keluarga ayah Nessa adalah orang kaya lama dari Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Puluhan tahun mereka mengelola beberapa lokasi tambang batu bara di Kalimantan.

Abbas, ayah Nessa, adalah permata keluarga. Putra sulung, lelaki satu-satunya dari tiga bersaudara. Lulusan cermerlang dari Universitas Gadjah Mada. Ia digadang- gadang menjadi penerus bisnis dan selalu mengharumkan nama keluarga.

Sampai ia jatuh cinta pada Sari, petugas administrasi. Gadis miskin yatim piatu transmigran asal Tegal, Jawa Tengah. Keluarga besar Abbas menentang keras, karena Sari jelas tak sederajat. Abbas bersikeras, pernikahan pun digelar. Tapi, penolakan terhadap Sari tak pernah benar- benar usai. Usia Sari yang lebih muda dari kedua adik Abbas membuat posisinya jadi kian tak menguntungkan. 

“Kata Papa kamu, sekarang kamu usaha jualan baju, ya Nessa?” Dessy bertanya lagi.

“Benar, Acil. Local fashion brand sekarang sedang digemari,” jawab Nessa. “Sebulan belakangan ini penjualan bagus sekali.”

“Dengar- dengar, calon kamu juga berhenti kerja buat jadi pengusaha?” kali ini Mega yang menyambar. “Bidang apa? Tambang? Properti? IT?”

Nessa menggeleng. “Bima buka usaha coffe shop, Acil,” jawabnya. Ia segera memperhatikan kedua bibinya saling melempar pandang tak setuju.

“Jadi, kamu jualan baju, dan dia jualan kopi,” Dessy berkata separo mencibir. “Memang, duitnya cukup? Apalagi, tahun ini kalian mau menikah.”

“Gimana, Sar?” Mega berkata tajam pada Sari yang sedari tadi diam. “Kamu yakin si Bima ini bisa dipercaya? Nggak cuma pansos?”

Darah Nessa serasa mendidih, tapi ia berusaha setengah mati untuk diam. Puluhan tahun sudah ia belajar, bahwa setiap upayanya membela diri hanya akan berbalik menjadi senjata bibi- bibinya untuk merundung ibunya. Sedangkan Nessa bersedia melakukan apa pun untuk melindungi sang ibu.

Lihat selengkapnya