Masker dan Kopi Literan

Mutiarini
Chapter #6

Bab 6 : Every Man for Himself

4 April 2020

Common Coffee, Common Park, Kemang Timur, Jakarta Selatan.

Pertanyaan Bima terjawab tepat empat hari sesudah siaran pers resmi dari istana kepresidenan ditayangkan. Sabtu itu adalah akhir pekan tersepi yang pernah dialami Common Coffee. Jumlah pengunjung Common Park menurun drastis, yang berimbas langsung pada bisnis mereka. Warga Jakarta tampaknya memindahkan aktivitasnya ke supermarket-supermarket terdekat, berbelanja kebutuhan dasar sebanyak mungkin sebagai persiapan masa lockdown. Setidaknya, itulah yang Nessa dan ibunya lakukan.

Lockdown, konsep itu begitu asing di kepala Bima. Media memberitakan bahwa beberapa negara sudah memberlakukan lockdown, yang berarti semua orang tidak diperkenankan keluar dari rumah kecuali dalam kondisi darurat. Hukuman denda bahkan penjara menanti mereka yang berani melanggar.

Bima tak risau akan kebutuhan sehari-harinya jika lockdown benar- benar diterapkan. Ia lebih mengkhawatirkan hal lain. Bima mengedarkan pandang pada ketiga karyawannya yang tengah mengobrol di satu meja. Fendi, Fitri, dan Rangga yang Bima gaji dengan standar UMR. Bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhan sehari- hari jika sesuatu terjadi pada Common Coffee?

Bima melangkah keluar dari area Common Coffee dan mengeluarkan ponselnya. Pada saat seperti ini, ia sangat ingin berdiskusi dengan Keenan, rekan bisnisnya. Bima mencoba dan mencoba, tapi ponsel Keenan tidak aktif.

Sudah seminggu terakhir, Keenan tak bisa dihubungi.

***

 

5 April 2020

Perumahan Cilandak Townhouse, Jakarta Selatan.

 

“Bim, sementara waktu aku bakal lebih sering di rumah, ya?” kata Nessa, menatap Bima dari layar ponselnya. Mereka tengah bertelpon menggunakan Whatssap video call.

“Oke,” jawab Bima. “Semua baik- baik? Papa dan Mama sehat?”

“Sehat, kok,” jawab Nessa. “Tapi Mama cemas dengan perkembangan situasi sekarang. Apalagi, masker, hand-sanitizer dan cairan disinfektan langka banget belakangan ini. Papa juga masih harus bolak- balik Kalimantan. I want to be here with them.

“Oke, please send my regards. Nanti kalau aku nemu masker dan hand sanitizer dijual di apotek bawah, aku bawain ke rumah kamu,” Bima menanggapi.

“Kamu… sudah telpon Bapak? Di Solo gimana keadannya?” tanya Nessa hati- hati.

Bima terdiam sebentar. “Nggak, belum. Tapi, harusnya nggak masalah. Kanti kan apoteker, pasti punya channel untuk dapat perlengkapan kesehatan dengan mudah,” jawabnya. Ia mengacu pada adik semata wayangnya.

“Telponlah, Bim,” Nessa berkata pelan. “Sekarang kan, situasinya lain. Kamu harus cek kalau Bapak baik-baik saja.”

“Iya, nanti pasti aku telpon,” Bima menghela napas. “Aku lagi khawatir mikirin Common Coffee kalau kondisinya kayak gini terus. Mana Keenan udah seminggu nggak bisa dihubungin.”

Nessa terdiam. Ia berpikir keras mempertimbangkan hal yang akan ia sampaikan pada Bima. Tapi, ia yakin Bima harus mengetahuinya.

“Bim, aku tahu kamu nggak mau main Twitter. Tapi, cek sebentar deh. Banyak kabar nggak enak soal Keenan di situ,” kata Nessa kemudian.

“Oh, ya? Dia sempat cerita sedikit sih ada kliennya yang complain, katanya cuma masalah kecil,” Bima berusaha menanggapi Nessa dengan santai.

Tapi, sesuatu mengusik Bima. Intuisi yang sama, yang berbisik padanya untuk waspada.

***

 

7 April 2020

Apartemen Bareksa City, Jakarta Timur.

Selama bertahun- tahun, Bima merasa selalu bisa mengandalkan Keenan. Bima tak punya banyak teman dekat. Kebanyakan teman sebayanya menganggap Bima mengintimidasi, hanya karena ia tahu persis apa tujuan dan target hidupnya, sementara mereka tidak. Tapi, Keenan selalu punya ambisi dan energi yang sanggup mengimbangi Bima.

Lihat selengkapnya