Masker dan Kopi Literan

Mutiarini
Chapter #9

Bab 9 : Harus Pulang

30 April 2020

Common Coffee, Common Park, Kemang Timur, Jakarta Selatan.

Bima tak ingat pernah merasa seperti ini sebelumnya. Campuran perasaan getir dan bersalah ini menyakitkan. Tapi, Bima sadar tak punya pilihan lain. Apa pun yang kini ia rasakan, tak ada apa- apanya dibandingkan hal yang akan disampaikannya pada Fendi dan Fitri. Kedua anak buah Bima yang telah dirumahkan lebih dari sebulan itu kini duduk di hadapannya untuk menerima kabar terburuk.

“Fen, Fit, gue rasa kalian sudah bisa melihat kondisi kita belakangan ini,” Bima akhirnya bicara setelah berkali- kali menelan ludah. “Karena pandemi, bisnis kita mengalami penurunan drastis. Kalian juga pasti sudah dengar kabar tentang Mas Keenan. Gue menyesal karena harus mengambil langkah terakhir ini.”

Fendi dan Fitri tidak mengatakan apa-apa, hanya memandangi lantai dengan tatapan kosong. Bima mengeluarkan dua buah amplop kertas yang sudah disiapkannya.

“Kita memang belum lama kerja bareng, tapi gue sangat berterima kasih untuk kontribusi kalian,” Bima mencoba berkata setenang mungkin. “Ini THR dan pesangon kalian. Gue minta maaf karena kerja sama kita harus berhenti di sini. Gue nggak bisa menjanjikan apa pun, tapi kalau kalian perlu rekomendasi dari gue untuk bekerja di tempat lain, dengan senang hati akan gue buatkan.”

Fendi menerima amplopnya dengan wajah pias tapi pasrah. “Terima kasih banyak, Mas Bima,” katanya pelan. “Saya senang selama kerja dengan Mas Bima.”

Fitri, sebaliknya, terpaku di tempat duduknya. Tak lama, perempuan muda itu terisak- isak.

“Mas… tolong jangan pecat saya,” pintanya mengiba. “Anak saya dua, suami saya pergi nggak tahu ke mana. Kalau saya nggak punya kerjaan, mereka mau makan apa?”

Bima merasa sesuatu menusuk perutnya. Informasi ini tak pernah ia dengar sebelumnya dari Fitri. Bima tak mampu berkata- kata.

“Tolong Mas Bima, saya mau kerja apa saja. Gaji berapa saja. Yang penting anak- anak saya bisa makan. Zaman susah gini, saya nggak tahu harus cari kerja di mana lagi…” Fitri masih terisak- isak.

Susah payah, Bima mengumpulkan segenap kekuatannya. Ia menghabiskan hampir satu jam sesudahnya untuk menenangkan Fitri. Pada akhirnya, Bima memang tak mampu menjanjikan apa pun. Dengan hampa, ia memandangi Fitri dan Fendi yang melangkah keluar dari Common Coffee. Belum pernah Bima merasa begitu kecewa pada diri sendiri.

Caranya dibesarkan dan jalan hidup yang dipilihnya telah mendidik Bima untuk selalu tampak tegar. Krisis apa pun yang terjadi, Bima terlatih untuk menghadapinya dengan kepala dingin. Bima tak pernah menunjukkan emosi jika memang tak perlu.

Tapi, sesungguhnya, saat ini tak ada yang lebih diinginkan Bima selain menangis bersama Fitri.

***

30 April 2020

Perumahan Cilandak Townhouse, Jakarta Selatan.

 

“Imbas virus corona, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan jumlah pekerja dari sektor formal korban PHK dan dirumahkan mencapai 1,54 juta orang. Kemudian, khusus di sektor informal jumlahnya sebanyak 538 ribu pekerja. Total mencapai 2,08 juta pekerja.

Lihat selengkapnya