1 Mei 2020
Perumahan Merbabu Asri, Purwosari, Surakarta, Jawa Tengah.
Bima berdiri gentar di hadapan rumah sederhana itu. Bangunan satu lantai bergaya tahun delapan puluhan itu tak pernah mengalami renovasi berarti. Pagarnya masih berupa rangkaian papan kayu setinggi paha orang dewasa yang kini lapuk dimakan waktu. Pohon jambu di pekarangan kecil itu tak pernah berbuah. Semua masih sama seperti ketika Bima meninggalkannya sepuluh tahun lalu, dan tak pernah menoleh lagi.
Tahun- tahun berikutnya, meskipun berkali- kali Bima singgah ke kota Solo untuk urusan pekerjaan, tak sekali pun ia pulang ke rumahnya. Beberapa kali ia bertemu Kanti di berbagai tempat, kemudian adiknya itu membujuknya pulang. Tapi, Bima tetap tak bergeming.
Motor yang lewat di jalanan depan rumahnya membuyarkan lamunan Bima. Ia merogoh rangkaian kunci rumah di saku celana, yang dijejalkan oleh Kanti ke dalam genggamannya saat mereka bertemu beberapa tahun lalu.
“Kalau suatu saat Mas siap untuk pulang,” kata Kanti saat itu.
Sesungguhnya, Bima tak siap. Tapi, kali ini ia tak punya pilihan. Hidup tak memberi Bima banyak pilihan akhir- akhir ini.
Di telpon, Kanti meminta Bima membawakan sejumlah keperluan pribadi ayahnya dari rumah. Sang ayah belum juga sadar sejak ditemukan pingsan di kamar mandi dini hari tadi. Kanti mengambil cuti sehari penuh dan menungguinya di rumah sakit.
Bima bergegas menghampiri pintu depan dan memasukan kunci. Ia ingin menyelesaikan tugas ini secepat mungkin.
Embusan aroma yang dikenal Bima menyembutnya seketika pintu terbuka. Rumah ini seperti terperangkap di masa lalu. Kursi dan meja kayu rendah di ruang tamu masih dihiasi bantal bersarung dan taplak rajut buatan ibu Bima. Pigura- pigura plastik di dinding masih memajang foto- foto lama keluarga itu. Bima memalingkan wajah dan bergegas memasuki kamar tidur ayahnya.
Bima membuka lemari pakaian dan terpana. Sejenak, ia merasa lututnya melemas.
Pakaian- pakaian mendiang ibunya masih tersimpan rapi. Terlipat berdampingan dengan pakaian ayah Bima. Segera Bima mengedarkan pandang dan menyadari bahwa kamar itu pun tak berubah. Ayahnya masih menyimpan semua benda milik sang ibu. Peralatan kosmetik masih ada di meja rias, beberapa jilbabnya masih tergantung di samping lemari.
Bima melangkah mundur, mencoba menenangkan diri. Ingatannya kembali kepada peristiwa sepuluh tahun yang lalu.
***
18 Januari 2010
Komplek Pergudangan Sirkuit Sentul, Bogor, Jawa Barat.
“Sabar ya Bu, seminggu lagi Bima dapat gaji pertama. Setelah itu, kita bawa Ibu ke dokter yang bagus. Nggak perlu lagi mengandalkan asuransinya Bapak,” Bima berbicara pelan lewat telpon.
“Ibu ndak apa- apa, Bima. Cuma sakit perut. Sudah, kamu kembali kerja sana. Katanya tiga bulan pertama masih masa percobaan?” sang ibu menukas. Tapi, Bima bisa mendengar suaranya yang melemah.
Bima menggigit bibir. Sebulan yang lalu, keluarga mereka ditimpa berita buruk. Sakit perut menahun yang diderita sang ibu ternyata bukan maag akut, melainkan kanker rahim stadium akhir. Diperlukan rangkaian pengobatan panjang dan mahal untuk menanganinya. Keluarga Bima tak pernah punya dana sebesar itu. Sedangkan asuransi kesehatan yang disediakan Pemerintah untuk guru sekolah negeri dan anggota keluarga mereka, tak memberikan akses untuk banyak obat yang diperlukan.
“Iya Bu,” Bima menjawab. “Bima akan kerja keras kejar target. Begitu gaji turun, Bima langsung transfer Bapak buat Ibu berobat.”