6 Mei 2020
Perumahan Cilandak Townhouse, Jakarta Selatan.
“Belum dapat juga bajunya, Nessa? Kamu selalu jadi yang terakhir, ya.”
“Sudah piring ke berapa itu, Ness? Nggak mau diet?”
“Tuh, semua sepupumu langsing.”
“Susah bener Ness nemenin lo cari baju.”
“Kamu nikah juga jadi yang terakhir ya, Ness.”
“Eh, tapi umur kamu sudah hampir tiga puluh sih, ya…”
“Kamu mau mati sendirian?”
Nessa terbangun dan tersentak. Ia segera duduk. Tangannya gemetar hebat dan napasnya memburu.
Itu mimpi, ia berusaha menenangkan diri. Itu semua nggak nyata.
Panik, Nessa menghambur ke depan cermin. Di pantulannya, Nessa menatap diri sendiri. Ia pucat dan berkeringat, rambutnya berantakan. Nessa menatap tubuhnya. Setelah bertahun- tahun berolah raga rutin dan bergaya hidup sehat, ia tak lagi masuk kategori obesitas. Tapi, ia selalu beberapa kilogram lebih berat dari para sepupu dan teman perempuannya.
Nessa melirik jam di dinding. Pukul satu dini hari. Entah ini sudah malam ke berapa ia terbangun karena mimpi buruk. Nessa meraih ponselnya. Ia berusaha menelpon Bima.
Ponsel Bima tidak aktif. Air mata Nessa menetes turun. Ia roboh ke lantai dan mulai menangis tersengal- sengal.
Setelah bertahun- tahun lamanya, ternyata ia tetap merasa seperti anak perempuan gemuk yang kesepian dan tak diinginkan.
***
“Aku nggak tahu sudah berapa lama, Bim,” Nessa mengeluh pada Bima saat mereka berbincang dengan video call siang itu. “Aku cemas terus. Dadaku sesak. Kepalaku sakit. Aku nggak bisa tidur. Sekalinya tidur, aku mimpi buruk.”
“Mungkin kamu kecapaian jahit masker?” Bima menanggapi. “Istirahat dulu ya, sebentar lagi juga kan, libur Lebaran.”
“Awalnya kupikir juga begitu. Tapi, ini beda. Rasanya nggak enak banget, Bim…” Nessa menggigit bibir.