28 Mei 2020
Perumahan Merbabu Asri, Purwosari, Surakarta, Jawa Tengah.
Tiga hari lagi, Pak Sumardi dijadwalkan pulang ke rumah. Meskipun fungsi organ- organ vitalnya mulai membaik, ia telah kehilangan kontrol separuh tubuhnya. Ia harus dibantu untuk melakukan aktivitas sehari- hari, menggunakan kursi roda untuk pergi kemana pun, dan mendapatkan pengawasan medis dari waktu ke waktu.
Bima dan Kanti duduk berhadapan di ruang tamu rumah mereka. Kakak beradik itu sadar tengah mengalami kondisi klasik keluarga kelas menengah yang masih harus menyokong orangtua dari berbagai sisi. Menjadi sandwich generation memang menghadirkan tantangan tersendiri.
“Aku bisa berhenti kerja untuk mengurus Bapak,” Kanti akhirnya berkata. “Aku anak perempuan, bungsu pula. Ini sudah jadi tanggung jawabku.”
Bima menggelengkan kepala. “Jangan berpikir harus mengorbankan hidupmu hanya karena kamu perempuan,” ia berkata tegas. “Bukan begitu caranya. Kamu dan pekerjaanmu penting. Terutama dalam situasi sekarang, jasamu diperlukan banyak orang. Kita akan pikirkan cara.”
“Aku nggak merasa berkorban Mas,” balas Kanti. “Apa alternatifnya? Mas Bima yang urus Bapak? Pindah ke Solo? Hidupmu di Jakarta, Mas. Tunanganmu, bisnismu, semuanya.”
“Kita akan pikirkan cara,” Bima mengulang pendek.
Hening lama.
“Aku punya kenalan perawat,” Kanti akhirnya berkata lambat- lambat. “Tempo hari, dia bilang sedang cari kerjaan baru. Mungkin ini bisa jadi solusi…”
Bima mengangguk. “Mungkin. Kamu telpon dia, ya?” katanya.
Kanti menatap kakaknya. “Mas Bima… masih punya uang untuk menggaji perawat?” tanyanya hati- hati. “Aku bisa bantu, tapi nggak banyak.”
Bima terdiam. Benaknya memutar berbagai skenario peristiwa yang bisa terjadi jika keputusan ini dibuat. Ia sadar harus menata ulang rencana hidupnya.
***
29 Mei 2020