Masker dan Kopi Literan

Mutiarini
Chapter #20

Bab 20 : Sudah Sempurna

5 Juli 2020

Perumahan Cilandak Townhouse, Jakarta Selatan.

Hampir seminggu Nessa terkurung di kamarnya. Ia takut sebentar lagi tak akan mampu membedakan mimpi buruk dengan kenyataan. Keduanya hadir silih berganti membawa perasaan yang persis sama: kesepian.

Pintu kamar yang selalu tertutup adalah upaya Nessa melindungi keluarganya dari virus yang entah kapan akan pergi dari tubuhnya. Sehari tiga kali, mereka meninggalkan makanan untuknya di depan pintu. Setiap malam, orangtua Nessa mengetuk pintu, mencoba mengajaknya bicara. Nessa tahu ia beruntung karena tak kekurangan apa pun selama sakit. Tapi, setiap saat ia dihantui berbagai pikiran buruk.

Ia merasa menjadi puteri yang gagal bagi kedua orangtuanya. Tak cukup mereka harus menanggung beban menjelaskan pada keluarga besar tentang pernikahannya yang gagal, sekarang mereka pun harus menjaganya karena sakit. Nessa juga mengkhawatirkan bisnisnya yang harus terbengkalai hingga entah kapan, dan betapa ia mungkin akan membutuhkan lebih banyak bantuan orangtuanya di masa depan.

Nessa menggigil. Kondisinya masih sama sejak hari pertama ia dinyatakan positif Covid-19. Suhu tubuhnya naik turun, dengan demam tak pernah melebihi 38,5 derajat celcius. Ia kehilangan penciuman dan nafsu makan. Tenggorokan dan seluruh tubuhnya sakit, tapi ia tak mengalami sesak napas dan batuk. Secara umum, ia hanya menderita gejala flu berat. Isolasi mandiri masih menjadi opsi terbaik yang disarankan oleh gugus penanganan Covid-19 daerah Cilandak dan dokter yang didatangkan orangtuanya ke rumah. 

Sementara itu, Nessa belum berhasil menghubungi Sinta. Bu Asih pun tak mengetahui kabarnya. Nessa mengkhawatirkan Sinta dan berharap gadis itu mendapatkan perawatan dan bantuan sebaik dirinya.

***

“Nessa, makan malam.”

Suara ibunya. Nessa segera mengenakan masker dan face shield nya, lalu mendekat ke pintu.

“Mama mundur dulu ya,” kata Nessa memperingatkan. Di luar, ia bisa mendengar ibunya berjalan menjauh.

Nessa membuka pintu dan menarik baki makanannya ke dalam kamar. Ia bisa melihat ibunya berdiri di ujung lorong. Segera Nessa menutup kembali pintu kamarnya.

Ia sedang bersiap membawa baki makanan ke meja kerja ketika suara ibunya terdengar lagi.

“Mama temani kamu makan ya.”

Nessa lalu meletakkan baki makanannya di lantai. Dari siluet yang melebar di celah pintu, Nessa tahu ibunya tengah duduk di lantai luar pintunya.

Makan malam kali ini berupa nasi dan sup sayuran. Nessa mencoba mengendusnya dan tak tercium apa pun. Ia mencoba sesuap dan tak bisa mengecap rasanya. Perutnya bergolak mual.

“Enak?” tanya Sari, ibunya, dari luar.

“Enak Ma,” Nessa berbohong. Setengah mati ia berusaha menelan makanannya.

“Tadi Bima datang ke sini lagi,” Sari berkata setelah diam beberapa saat. “Kamu yakin nggak mau bicara sama dia?”

Lihat selengkapnya