8 Juli 2020
Perumahan Cilandak Townhouse, Jakarta Selatan.
Kematian. Ketika ia menjemput seseorang yang kita kenal, kehadirannya terasa amat nyata. Ia tak lagi berbentuk statistik yang ditayangkan oleh media massa. Ia seperti penagih hutang yang berteriak di depan rumah, mengingatkan bahwa tak seorang pun bisa lolos. Pada akhirnya, akan tiba waktunya ia datang untuk setiap dari kita.
Nessa menggigil. Ia tak bisa tidur sejak menerima telpon dari Bu Asih subuh tadi. Bayangan Sinta tak bisa lepas dari kepalanya. Gadis itu bahkan belum genap berusia 22 tahun. Selalu terlihat sehat dan bersemangat. Sedikit terlalu banyak bicara. Tapi, Nessa selalu menyukainya. Tak pernah Nessa menyangka, gadis itu tak akan muncul kembali di rumahnya untuk menjahit masker demi masker.
Perasaan bersalah mulai menghantui Nessa. Seharusnya, ia tahu ada yang salah ketika Sinta tak lagi bisa dihubungi berhari- hari yang lalu. Benarkah tak ada hal lain yang bisa dilakukannya untuk Sinta? Apakah Sinta tak mendapatkan penanganan yang tepat karena keluarganya menyembunyikan keadaannya? Ataukah pertolongan datang terlambat? Sempatkah Sinta mendapatkan perawatan sebaik dirinya?
Apakah ia meninggal dengan tenang, atau penuh rasa sakit? Adakah yang menemaninya, ataukah ia sendirian ketika maut menjemput?
Nessa menangis terisak- isak. Ia merasa tidak berdaya. Pagi tadi, ia sudah mentransfer sejumlah uang ke rekening Bu Asih untuk disampaikan ke keluarga Sinta sebagai bentuk belasungkawa. Hati Nessa sakit menyadari bahwa mungkin hanya itulah hal terbaik yang bisa ia lakukan saat ini. Di saat yang sama, ia juga dihantui perasaan takut.
Akankah hal yang sama terjadi juga pada dirinya?
Tiba- tiba, Nessa mendengar pintu diketuk.
“Nessa, sarapan,” suara ibunya terdengar dari luar.
Nessa menghapus air matanya dan berjalan menghampiri pintu. Seperti biasa, ia mengenakan masker dan face shield sebelum mengambil makanan di luar.