Masker dan Kopi Literan

Mutiarini
Chapter #22

Epilog

30 Agustus 2020

Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat.

 

Langit masih bersemu jingga dan merah muda. Kabut menggantung rendah di pepohonan pinus yang batangnya kurus dan menjulang tinggi. Keberadaannya mengendapkan dingin embun yang belum berhasil diusir matahari redup pukul enam pagi. Sementara itu, hanya orkestra suara serangga yang terdengar sayup- sayup.

Bima mengatupkan mata. Ia berbaring telentang di rumput basah. Semilir angin mengantarkan aroma daun pinus segar ke hidungnya. Diam- diam, ia tersenyum. Betapa alam hanya bersedia menguak pesonanya ketika manusia bersedia bergerak lebih lambat dan melihat lebih dekat.

“Bim, tehnya mau pakai gula nggak?” Nessa yang tengah menjerang air panas menggunakan kompor gas portabel beberapa meter dari Bima berteriak.

Bima bangkit untuk duduk. “Nggak usah. Makasih,” jawabnya.

Kemarin, mereka memutuskan untuk mencoba melakukan sesuatu secara spontan. Tiba- tiba, tanpa rencana, hanya mengikuti intuisi. Sore hari, mereka berkendara ke arah Sentul, lalu meneruskan naik ke atas Gunung Pancar. Mereka membeli makanan instan di minimarket, kemudian menyewa tenda serta perlengkapan camping lainnya. Mereka menghabiskan malam di lokasi perkemahan yang jauh dari keramaian.

“Nih,” Nessa menyerahkan teh mengepul dalam gelas kertas ke tangan Bima. “Seru juga ya ternyata, jadi anak Pramuka.”

Lihat selengkapnya