Mata Api

Anggoro Gunawan
Chapter #1

Sakit Gigi


)

Istriku minta cerai ketika aku sakit gigi dan menganggur. Sudah dua hari ini aku ingin mengumpat sekeras mungkin. Alih-alih mengeluarkan caci maki aku malah mengucapkan mantra. “TineIbihna rasa lara seka angganing wang. Wungkal ora kenal, pedang ora rajang. Luk sanga bakal jaja.” Mantra ini diajarkan Ayah dulu untuk pagar badan. Istilah umumnya adalah ilmu kebal. Dapat dikatakan, aku tak pernah merapalkannya. Dan di saat semua doa seperti sia-sia, tiba-tiba mantra yang lama terjebak di ingatan itu muncul tanpa permisi.

Dulu, aku harus menghapalkan mantra itu di depan obor menyala di tengah sawah. Matanya harus menyaksikan setiap lenggok api. Dari jarak tujuh langkah, nyala itu seperti penari bondan yang berdiri di atas kendi. Semua bagian terus bergerak, sementara ujung kaki tetap menempel di penampangnya. Setelah tujuh ribu kalimat yang sama diucapkan, barulah aku harus diam. Aku menunduk, sebagai tanda hitungan sudah sampai tujuh ribu. Aku melihat bayangan tubuhku dari sudut bulan yang sudah bergeser mendekati pagi.

“Pejamkan matamu!” suara Sang Ayah menimpa gericik sungai kecil samping sawah. “Api itu sudah berkenalan denganmu. Kau ingatlah, dia adalah temanmu.”

Aku mencoba mengingat setiap lenggok api. Yang kungat adalah lapar. Sehari semalam aku tidak makan sebagai bagian dari lelaku. Lenggok api itu hanya menyisakan bayangan kuning. Aku memilih untuk mengingat Sari, gadis anak juragan beras di seberang sungai. Aku membayangkan api itu adalah Sari yang sedang menari Bondan. Ia suka dengan lirikan Sari ketika nyeblak dengan selendangnya.

Di hari kedua, aku menyaksikan obor dari jarak tiga langkah. Dengan intensitas cahaya sedemikian berlimpah, aku bisa menyaksikan bahwa api itu tak seindah tarian Bondan. Yang ia lihat adalah Srikandi yang sedang berkelit dan bertempur. Sosok yang tenang sekaligus mengerikan. Cantik tapi penuh jebakan. Aku tidak tahu sampai hitungan berapa aku harus mengucap mantra.

Begitu ayah menyuruh untuk memejamkan mata, aku mengangsurkan napas. Bayangan Sari kali ini lebih tepat disebut sebagai titisan Bethari Durga murka. Bukan, itu bukan Srikandi. Itulah Durga yang menebar petaka bersama Bathara Kala. Aku masih lapar.

Aku tahu, ayah tidak pernah puas dengan semua lelaku yang pernah kujalani. Ayah tidak pernah memaksa juga. Aku hanya penasaran dengan kedalaman ‘ngelmu’ ayahku.

“Sebenarnya kau boleh saja memiliki keris ini, tapi aku rasa kau sama sekali tidak berjodoh.” Mantra tadi sangat bergantung kepada keris tak bernama itu. Kalaulah diamsalkan, mantra itu adalah peluru dan keris itu pistolnya. 

Keris itu merupakan warisan lima generasi. Lebih tepatnya sebuah titipan dari masa lalu. Entah apa kesaktiannya, aku tidak pernah peduli sampai ayah meninggal sembilan tahun yang lalu. Yang kuingat, konon kakek buyutnya adalah salah satu prajurit Pangeran Diponegoro.

“Keris itu makhluk yang memiliki jati diri. Keris warisan ini misalnya, luk-nya sembilan, hanya tepat untuk orang-orang berjiwa pemimpin. Bukan pemimpin besar, tetapi pemimpin yang mengabdi. Orang jujur seperti kamu lebih tepat menggunakan keris lurus, tanpa luk. Watakmu juga keras, tidak akan kuat menerima sifat yang bertolak belakang dengan pusaka ini. Neptumu kecil.”

Lihat selengkapnya