Urusan administrasi adalah sesuatu yang tidak pernah kusukai. Aku benci harus mengurus tetek bengek kertas formal. Sejak kecil, aku selalu merasa risih dengan hal-hal yang berbau birokrasi. Dan sekarang, aku harus menghadapi kenyataan: ganti KTP, proses pindah domisili. Semua harus dilakukan dengan sabar dan berlapang dada. Pindah domisili itu bukan sekadar ganti tempat tidur atau pindah lokasi saja. Ada banyak dokumen yang harus diperbarui. Setiap kali aku menatap formulir-formulir yang harus diisi, rasa malas itu muncul.
Bukan hanya KTP yang jadi bebanku. Aku harus menghadapi masalah yang lebih besar, yaitu pengurusan ke pengadilan agama. Ya, perceraian. Pernikahan kami dulu berlangsung tanpa banyak drama. Aku tinggal bilang ke kakak-kakak dan ibu, dan mereka mendukung keputusanku. Sekarang? Prosesnya jauh lebih rumit. Ibuku meninggal tiga tahun yang lalu karena stroke, dan tidak ada lagi yang bisa kudatangi untuk bicara. Hubungan dengan keluargaku, terutama saudara-saudaraku, pun semakin renggang. Mereka semua berpikir bahwa aku telah 'teracuni' oleh ibu kota. Harus kuakui, mungkin ada benarnya. Aku memang telah kecanduan kehidupan di ibu kota.
Di kota ini, aku bisa menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kuliahku dulu, Ilmu Komunikasi. Di desa, aku merasa seperti ikan yang dipaksa hidup di darat. Tidak ada tempat atau peluang yang bisa kusambut dengan hangat. Ibu kota adalah pusat dari segalanya; ekonomi, pemerintahan, dan kesempatan. Pusat dari semua itu membuatku merasa hidup. Meskipun sekarang ada rencana pemindahan ibu kota, aku masih merasa di sinilah tempatku.
Di tengah segala kekacauan hidup ini, tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku: “Ketemuan yuk!” Nama pengirimnya membuatku terkejut. Basuki? Wah, bagaimana kabarnya dia sekarang? Sudah lama kami tidak bertemu.
“OK, di mana?” kubalas pesan itu dengan cepat.
Ponselku berdering. Segera kuangkat sambil berbaring di kasur kosan yang mulai menipis busanya.
“Gimana kabarnya, Ndes? Sekarang di mana?” Suara yang kukenal itu menyapaku dengan penuh semangat. Suaranya masih lantang dan percaya diri, sama seperti dulu.
“Tangerang. Kota Tangerang. Kamu masih di Cimanggis?” tanyaku balik. Basuki menikah dengan seorang perempuan dari Cimanggis, Depok. Setahuku, Basuki tingginya sekitar 160 cm, postur tubuhnya biasa saja—tidak gemuk, tidak kurus. Itulah gambaran yang masih melekat di ingatanku.
“Iya, masih di Cimanggis. Ketemuan yuk!” Ia mengulangi ajakannya. Kuangkat gelas keramik bertuliskan merk mobil, meneguk air mineral yang membasahi tenggorokan.
“Ayo, kapan dan di mana?”
“Kita ketemu di restoran pizza,” usulnya.
“Oke, kapan?”
“Besok?”
“Deal!” sahutku tanpa ragu.