Aku seperti piala bergilir, sebuah benda berkilau yang dipuja sejenak, dipajang dengan bangga, lalu diserahkan kepada yang berikutnya, diarak di antara tangan-tangan yang menjanjikan kebaikan tapi juga kehampaan, tidak lebih dari simbol kesementaraan. Kali ini giliran kakak nomor tujuh, Mbak Dansa, yang mengasuhku. Secara rumah, memang cocok aku di sini, di bawah atap yang dulu menyimpan kenangan perseteruan kecil kami. Bagai kucing dan anjing, aku dan dia, saling mencakar dan mencibir, beradu manja, berebut menjadi pusat perhatian—anak bungsu yang tak ingin direbut tahtanya.
Aku ingat, dulu aku memanggilnya “Pauk,” nama yang ia benci, dan sebagai balasan ia memanggilku “Cinguk,” seperti mengejek wajahku yang katanya selalu cemberut. Atau kadang dia memanggilku “Tua,” lantaran komedo di wajahku, sebuah ejekan yang kuakui memang efektif untuk menyulut amarah. Ada jarak tujuh tahun antara kami, seperti jurang yang tak terjangkau antara kanak-kanak yang masih murni dan remaja yang sedang belajar memberontak. Ketika dia masuk Sekolah Menengah Pertama, aku baru belajar mengenal dunia Sekolah Dasar, penuh semangat dan canda yang polos.
Mbak Dansa punya tiga anak, semuanya laki-laki, kecil-kecil dengan tingkah yang menggemaskan. Suaminya, seorang seniman yang hidup di dunia yang penuh warna dan kebebasan, membuatku merasa lebih leluasa. Seolah-olah di rumah ini, segala yang sebelumnya terikat kini lepas, bebas.
Dia membiayai pengobatanku, yang katanya alternatif dan ilmiah: stem cell, sel punca. Konon, metode ini sering dipakai untuk hewan. Itulah mengapa aku dibawa ke dokter hewan. Bayangkan, dokter hewan. Lima kali aku disuntik di paha, biaya sekali suntik setara sebulan gajinya. Tetapi aku, aku merasa biasa saja. Konon, efek stem cell itu pelan, lamban, seperti gerak aliran sungai yang mencari celah, tak langsung terasa, tetapi bekerja dengan cara meregenerasi sel-sel yang mati, memberi kehidupan baru pada saraf-saraf yang sudah layu. Aku bayangkan sel-sel saraf otakku yang lama terbengkalai kini disulut kembali, diberi kesempatan kedua untuk hidup.
Sebenarnya, yang paling ideal untuk dijadikan sel punca itu ari-ari, tapi siapa pula yang menyimpan ari-ari sampai dewasa? Dalam adat Jawa, ari-ari itu biasanya dipendam bersama doa dan harapan, dianggap sebagai saudara gaib yang menemani perjalanan hidup kita. Ditemani lampu teplok di malam hari, ari-ari itu dihormati, tak dibiarkan sendirian agar ruhnya tak kesepian di alam sana.