Aku masih ingat betul masa kecilku yang penuh kenakalan, terutama saat aku duduk di bangku sekolah dasar. Sekolah, bagiku, bukanlah tempat belajar yang serius, melainkan arena untuk menguji batas-batas kebebasan. Aku sering merasa memiliki kekuasaan di sekolah. Bapakku adalah orang penting di kecamatan, dan aku tahu persis bahwa orang-orang segan padaku karenanya. Bahkan, jika aku marah dan mengamuk, semua murid dipulangkan lebih awal.
Kenangan yang paling berkesan adalah ketika aku melontarkan batu ke kerumunan anak-anak yang sedang melihatku mengamuk. Aku tidak peduli pada dampaknya—aku hanya ingin mendapatkan perhatian. Hingga akhirnya, batu itu mengenai seorang teman, dan aku mendengar bahwa ayahnya mencariku untuk meminta pertanggungjawaban. Sebagai anak kecil, aku tentu saja takut, meski kenyataannya, hukuman itu tak pernah terjadi.
Saat kecil, aku memiliki kebiasaan menulis surat kepada teman-temanku yang kuanggap cantik. Aksi ini tidak berhenti di SD. Saat SMP, aku mengulang kebiasaan ini, kali ini dengan lebih serius, berharap mendapatkan perhatian yang lebih dari teman-teman perempuanku. Aku memberanikan diri menulis surat cinta kepada teman yang kupandang paling manis. Namun, balasannya sungguh mengejutkan: surat itu kembali padaku dalam bentuk sobekan-sobekan. Aku hanya bisa tertawa getir. Tapi aku menyadari betapa kekanak-kanakannya tindakan itu.
Menginjak SMP, perubahan mulai terasa. Aku mulai menyadari bahwa dunia ini lebih luas daripada sekadar sekolah dan keluargaku. Aku punya banyak teman dari berbagai latar belakang, bahkan beberapa kakak kelas yang sering kubanggakan. Aku yang merupakan anak bungsu di keluarga, menjadi lebih manja. Setiap kali pulang sekolah, aku sering mampir ke sungai, tempat yang terbagi untuk laki-laki dan perempuan. Kami biasa mandi di bagian yang untuk perempuan, hanya untuk merasakan adrenalin.
Mas Eka, kakak tertuaku yang berusia jauh di atasku, pernah mengajarkanku berenang. Tapi aku ternyata tak berbakat. Mengambil napas saja susah, dan akhirnya aku menyerah. Namun, meski tak bisa berenang, keberanian itu tetap ada, terutama ketika aku berjalan kaki ke rumah.
Masuk SMA membuka mataku lebih lebar. Teman-temanku tak hanya berasal dari desaku, tapi meluas hingga ke tingkat kabupaten. Magelang saat itu terbagi menjadi dua, kabupaten dan kotamadya. Aku tinggal di wilayah kabupaten, dan setiap pagi harus bangun sangat pagi untuk mengejar angkutan ke sekolah. Jika telat setengah jam saja, aku akan terlambat masuk kelas, yang berarti kehilangan banyak waktu belajar.
SMA juga membuatku mengenal lebih banyak dunia remaja yang penuh warna. Teman-temanku mulai mencoba berbagai hal baru, termasuk alkohol dan geng motor. Meski aku sempat mencoba minuman beralkohol, aku menyadari bahwa rasanya pahit dan tidak cocok dengan seleraku. Aku lebih suka mendengarkan cerita-cerita teman tentang geng motor mereka, mendengar kisah-kisah "pertempuran" antarkota, dengan senjata tajam yang diasah khusus untuk persiapan. Ini mungkin terlihat ekstrem, tapi begitulah dunia remaja di masaku.