Mata Api

Anggoro Gunawan
Chapter #10

Pesantren

Pondok pesantren sebenarnya tidak asing bagiku. Aku dulu pernah di pesantren waktu SMA. Waktu itu sekadar ikut-ikutan. Kaka-kakak kelasku bersama sama ke pesasntren. Kalau sekarang karena rapat keluarga memutuskan.

Aku sepertinya dianggap sebagai cocok dengan agama. Padahal sebenarnya aku biasa saja.

Segenap keponakan mengantar. Aku disuruh pakai sarung terbaik. Menurutku tidak perlu pakai sarung. Di pesantren lamaku bisa pakai celana panjang. Kebetuian ada pesantren milik kerabat jauh. Aku dititipkan di sana.

Pesantren itu cukup punya nama di daerahku. Pemiliknya anggota DPRD kabupaten. Aku heran dengan orang orang yang membuat premis keliru. Hal surgawi jangan dilihat dari pencapaian dunia.  Bisa saja korupsi.

Masjidnya terasa sejuk. Pilar-pilarnya berdiri dengan kokoh. Anak-anak kecil berlarian di antara kami. Pesantren ini dua lantai. 

"Nanti kamarnya di sana!" seorang lelaki umur 35-an tahun menunjuk kamar kosong dekat kamar mandi. Aku hanya menganggukan kepala. Keponakan-keponakanku sepertinya juga tak tahu apa yang mau dikatakan. 

Dia lalu menyebutkan sebuah kitab hadits. Entah apa namanya aku  lupa. Aku mengutuk stroke ini. Begitu mudahnya untuk lupa.

Aku melihat kamar itu. Tidak ada kesan mendalam. Kamar ukuran 3x3 biasa. Ada lemari tampak baru dari plastik.

Keponakanku membuka tas besar yang kubawa. Dia mulai menata isi lemari. Tangannya cekatan memindah sebagian besar tas yang kubawa. Isinya pakaianku.

Sebagian besar pakaianku sebagian kecil bagian kakakku. Mas Dwiatno mengantarku.

 Aku tidak mengira kalau itu pengantaran yang terakhir. Tiga bulan kemudian dia meninggal karena  stroke. Ini memang penyakit keluargaku. Walau banyak yang menduga kakakku meninggal karena Covid. Anaknya yang tertua berkata kalau jenazah bisa cepat keluar dari rumah sakit ikuti sarannya. Mati karena Covid. Itu lebih sederhana. Toh dengan mengatakan Covid tidak serta merta Mas Dwiatno meninggal.

Aku salut dengan anaknya dia tidak menangis. Dia cukup sabar. Padahal aku tahu kalau kakakku ini tak bersih-bersih amat. Bukan covid yang aku khawatirkan. Tapi TBC. Kakakku ini perokok andal. Dia yang memberi petuah aku dulu untuk tidak merokok. Perintah yang tak kuabaikan. Aku dulu beranggapan merokok itu haram. Tapi selang beberapa tahun, kuubah keputusan itu. Merokok itu tidak melanggar agama. Benarkah?

Kalau sekarang aku bisa kembali mengatakan kalau rokok itu haram. Contohnya ya aku ini. Stroke.

Aku curiga covid itu isu belaka. Sampai kemudian banyak kerabatku berguguran. Salah satunya istri kakakku yang nomor enam. Dia tertular dari orang tuanya, seorang sopir damri. Sekali lagi kematian tidak berdasarkan usia. 

Lihat selengkapnya