Pondok pesantren sebenarnya tidak asing bagiku. Aku dulu pernah menghabiskan waktu di pesantren saat SMA. Waktu itu, keputusanku lebih karena ikut-ikutan. Kakak-kakak kelasku bersama-sama mendaftar ke pesantren, dan aku merasa tak ingin ketinggalan. Lingkungan baru, teman-teman baru, dan pengalaman spiritual yang berbeda menjadi daya tarik tersendiri. Namun, kali ini situasinya berbeda. Keputusan untuk kembali ke pesantren bukanlah atas inisiatifku sendiri, melainkan hasil dari rapat keluarga yang memutuskan bahwa aku perlu memperdalam ilmu agama dan memulihkan diri.
Sepertinya keluargaku menganggap bahwa aku cocok dengan kehidupan religius. Padahal, sebenarnya aku biasa saja. Aku menjalani ibadah seperti orang pada umumnya, tidak terlalu mendalam, tetapi juga tidak mengabaikannya. Mungkin mereka melihat perubahan sikapku setelah mengalami stroke. Aku menjadi lebih introspektif, lebih banyak merenung tentang makna hidup dan kematian. Mungkin itu yang membuat mereka berpikir bahwa pesantren adalah tempat yang tepat bagiku untuk memulihkan diri, baik secara fisik maupun spiritual.
Segenap keponakan mengantarku ke pesantren. Mereka tampak antusias, mungkin karena jarang melihatku dalam suasana seperti ini. Aku disuruh memakai sarung terbaik yang kupunya. Menurutku, sebenarnya tidak perlu berlebihan. Di pesantren lamaku dulu, para santri bisa mengenakan celana panjang. Tapi, demi menghormati keinginan keluarga, aku turuti saja. Kebetulan, pesantren yang akan kutuju dimiliki oleh kerabat jauh. Aku dititipkan di sana, dengan harapan mendapatkan perhatian khusus.
Pesantren itu cukup terkenal di daerahku. Pemiliknya adalah anggota DPRD kabupaten. Bangunannya megah dengan arsitektur khas Jawa. Pilar-pilarnya berdiri kokoh, memberikan kesan kuat dan berwibawa. Masjidnya terasa sejuk, lantainya bersih mengkilap, dan ornamen-ornamen kaligrafi menghiasi dindingnya. Anak-anak kecil berlarian di antara kami, tertawa riang tanpa beban. Pesantren ini memiliki dua lantai; lantai bawah digunakan untuk ruang kelas dan kegiatan sehari-hari, sementara lantai atas untuk asrama santri.
Saat tiba, seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun menyambut kami. Wajahnya ramah, dengan senyum yang menenangkan. "Nanti kamarnya di sana," ujarnya sambil menunjuk sebuah kamar kosong dekat kamar mandi. Aku hanya mengangguk, mengikuti arahan. Keponakan-keponakanku tampak canggung, mungkin karena tidak tahu harus berkata apa. Setelah itu, lelaki tadi menyebutkan sebuah kitab hadis yang akan menjadi bahan pelajaran utama. Sayangnya, aku lupa namanya. Aku mengutuk stroke ini; begitu mudahnya aku lupa akan hal-hal sederhana.
Kamar yang kutempati berukuran 3x3 meter, sederhana namun bersih. Tidak ada kesan mendalam, hanya tempat tidur single, lemari plastik tampak baru, dan meja kecil di sudut ruangan. Keponakanku mulai membuka tas besar yang kubawa, menata pakaian dan barang-barangku ke dalam lemari. Tangannya cekatan, seolah sudah terbiasa melakukan hal ini. Sebagian besar pakaian adalah milikku, tetapi ada juga beberapa yang merupakan pemberian dari kakakku, Mas Dwiatno, yang juga mengantarku hari itu.
Aku tidak menyangka bahwa itu akan menjadi pertemuan terakhirku dengan Mas Dwiatno. Tiga bulan kemudian, ia meninggal karena stroke. Penyakit ini memang seperti kutukan dalam keluargaku. Banyak yang menduga bahwa ia meninggal karena COVID-19. Anaknya yang tertua berkata bahwa jika jenazahnya ingin cepat keluar dari rumah sakit, lebih baik mengatakan bahwa penyebab kematiannya adalah COVID-19. Prosedurnya lebih sederhana. Aku salut dengan keponakanku itu; dia tidak menangis, tetap tegar menghadapi situasi sulit ini.
Aku tahu bahwa Mas Dwiatno tidak sepenuhnya bersih dari kebiasaan buruk. Ia perokok berat. Ironisnya, dialah yang dulu memberi petuah padaku untuk tidak merokok. Petuah yang sayangnya tidak selalu kuindahkan. Dulu, aku beranggapan bahwa merokok itu haram, tetapi seiring waktu, pandanganku berubah. Aku berpikir bahwa merokok tidak melanggar agama. Namun, melihat kondisi saat ini, aku kembali berpikir bahwa merokok memang membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat. Contohnya, aku sendiri yang menderita stroke.
Berita kematian Mas Dwiatno membuatku merenung. Aku curiga bahwa COVID-19 hanyalah isu belaka, sampai akhirnya banyak kerabatku yang berguguran. Salah satunya adalah istri dari kakakku yang nomor enam. Ia tertular dari orang tuanya, seorang sopir bus antarkota. Kematian memang tidak memandang usia atau status. Setiap ada kakakku yang datang menjenguk, pesantren ini selalu menyambut dengan hangat. Mereka diterima di ruang tamu, tempat istimewa yang biasanya digunakan untuk menerima tamu penting.
Di pesantren ini, aku belajar banyak tentang arti hidup. Aku menghabiskan sekitar enam bulan di sini. Awalnya, aku merasa tidak betah karena santri tidak diperbolehkan membawa ponsel. Meskipun aku mendapatkan dispensasi karena kondisi kesehatanku, aku merasa hal itu tidak adil. Di zaman sekarang, ponsel seperti kebutuhan pokok, sama pentingnya dengan nasi. Santri-santri lain diam-diam memiliki ponsel. Mereka bahkan lebih tahu tentang teknologi terkini dibanding aku. Mereka bisa menyebutkan seri ponselku, sementara aku sendiri tidak hapal.
Sebagai santri baru, aku harus menyesuaikan diri dengan berbagai aturan dan kegiatan. Aku diperkenalkan dengan istilah 'alat', yakni pelajaran yang berguna untuk memahami agama lebih dalam. Misalnya, pelajaran bahasa Arab, tafsir Al-Quran, ilmu hadis, dan lain-lain. Setiap subuh, kami mengikuti siraman rohani. Kegiatan ini berlangsung hingga langit mulai memerah di ufuk timur. Pesertanya kebanyakan berusia di atas 60 tahun, meskipun ada juga beberapa yang seumuranku.
Setelah siraman rohani, aku biasanya berjalan-jalan pagi. Kadang, aku mampir ke kedai untuk membeli bubur, makanan favoritku. Rasanya nikmat menikmati bubur hangat di pagi hari, sambil menghirup udara segar. Aku bisa melakukan ini setiap hari tanpa bosan. Seorang santri ditugaskan untuk menemaniku berjalan setiap pagi. Kami melewati pematang sawah, bercerita tentang berbagai hal. Namanya Adi, usianya sekitar 20 tahun, separuh dari usiaku. Ia berasal dari Sumatera. Teman-temannya memanggilnya 'Pak Lik', mungkin karena sikapnya yang dewasa dan bijaksana.
Adi sangat ramah dan sopan. Ia bercerita bahwa hidupnya sederhana, dan itulah sebabnya ia memilih untuk belajar di pesantren. "Kalau sering pulang, jadi boros," katanya sambil tertawa. Ia jarang pulang ke kampung halamannya untuk menghemat biaya. Meskipun begitu, ia tampak bahagia dengan kehidupannya. Tidak ada keluhan, hanya rasa syukur yang terpancar dari setiap kata-katanya.