Cerita Fiksi: Sebuah Babak Baru dalam Keheningan Desa
Dulu, aku adalah seorang jurnalis yang selalu dikejar deadline dan tekanan pekerjaan. Setiap hari, aku berlarian di bawah lampu kota, di antara suara klakson mobil dan teriakan penjual kaki lima. Aku pernah menjadi editor untuk beberapa konsultan manajemen; pekerjaan yang tidak pernah jauh dari stres. Aku berjam-jam menatap layar laptop, mengedit naskah, dan menulis berita. Saat semua orang di kota ini tertidur, aku masih terjaga, ditemani secangkir kopi hitam yang seakan tak pernah kosong dan sebatang rokok yang selalu menyala. Asapnya seperti pelarian dari hiruk-pikuk kota, pelipur dari tuntutan yang semakin berat.
Namun, hidup punya cara untuk menegur kita atas kebiasaan buruk yang terus kita pelihara. Di usia 45 tahun, atau mungkin 46 tahun – aku lupa tepatnya – aku mengalami stroke. Ini bukan stroke pertamaku. Dua kali sebelumnya aku sudah pernah merasakan efeknya, tetapi hanya berupa kelemahan di sebagian tubuh. Aku terlalu sibuk dan merasa terlalu “tangguh” untuk memperhatikan tanda-tanda itu. Aku tetap berlarian ke sana kemari, hingga akhirnya stroke kali ini benar-benar membuatku lumpuh. Tubuhku seperti dihentikan paksa. Hidupku berbalik 180 derajat.
Dalam sekejap, aku berubah dari jurnalis aktif menjadi seorang penyintas stroke yang harus belajar berjalan dan berbicara lagi. Tiap kata yang dulu begitu mudah keluar dari mulutku kini terasa seperti perjuangan. Setiap langkah yang dulu bisa kulakukan tanpa berpikir, kini menjadi proses panjang yang harus kulatih dengan sabar. Dokter memberi tahu bahwa ini adalah peringatan terakhir; aku harus mengubah gaya hidupku sepenuhnya. Termasuk, dan ini bagian tersulit, berhenti merokok.
Rokok sudah lama menjadi bagian dari hidupku. Ada rasa ketergantungan yang sulit digambarkan. Setiap kali aku merasa cemas atau tertekan, rokok seolah menjadi obat penenang yang paling ampuh. Menghentikan kebiasaan ini tidak mudah. Rasanya ada rasa kehilangan, seperti melepaskan sahabat yang selama ini selalu ada di sisiku. Namun, dengan dukungan dari keluargaku dan dorongan dari anakku, aku berusaha. Aku mulai mencari kegiatan lain untuk mengalihkan pikiranku dari rokok, seperti menulis dan berusaha kembali mengekspresikan pikiranku di atas kertas.
Setelah menjalani masa pemulihan, aku memutuskan untuk meninggalkan kota dan pindah ke desa. Di sini, di tengah ketenangan alam, aku berharap bisa memulihkan diri, jauh dari hiruk-pikuk kota yang pernah kubanggakan. Setiap pagi, aku mulai hariku dengan berjalan-jalan di sekitar pasar, menghirup udara pagi yang segar dan menikmati pemandangan sawah hijau yang membentang luas. Desa ini menyambutku dengan ketenangan yang selama ini tak pernah kutemukan di kota.