Jakarta itu rumit, kota yang kompleks dan harus dilalui dengan langkah cepat. Setiap sudut kota ini mengharuskan seseorang untuk tetap gesit, sigap, dan beradaptasi dengan perubahan yang datang bertubi-tubi. Aku, sebagai penyintas stroke, merasa tak lagi punya tenaga untuk menghadapi semuanya. Kota ini menyimpan kesibukan yang seolah tak pernah tidur, dengan ritme yang bahkan di malam hari terus berdetak seperti jantung yang tak kenal lelah.
Aku ingat pertama kali datang ke Jakarta. Waktu itu, aku masih muda, baru saja menyelesaikan kuliah, dan penuh ambisi untuk menaklukkan dunia. Suara klakson, gerak cepat orang-orang, dan kemacetan yang menjadi irama harian di kota ini membuatku terpukau dan, jujur saja, sedikit cemas. Bagaimana bisa begitu banyak orang bertahan di tempat sesibuk ini, sementara di desa, setiap orang masih bisa menikmati udara pagi yang sejuk tanpa terburu-buru?
Saat itu, Basuki, teman kuliahku, menawari untuk mengantarku ke wawancar kerja. Ia bekerja di lembaga pendidikan komputer, sebagai staf bagian marketing. Kantornya terletak di daerah Rasuna Said, di kawasan bisnis yang dipenuhi gedung pencakar langit. Hari itu, aku punya janji wawancara di sebuah kantor majalah yang jaraknya tak jauh dari kantor Basuki, sekitar 100 meter. Kami berencana bertemu sebelum wawancara, dan Basuki bersedia menemani karena aku masih sedikit gugup.
Saat pertama kali menatap gedung kantor yang tinggi menjulang, aku merasakan keraguan. Kulihat seorang lelaki berseragam biru dengan tongkat hitam di tangannya, berjalan mondar-mandir di depan gedung. Dalam benakku, aku berpikir apakah harus izin dulu kepada lelaki berseragam itu untuk masuk. Lelaki itu tampak tegas, dan aku khawatir dia akan melarangku masuk tanpa alasan yang jelas.
Ketika kuceritakan ini pada Basuki, dia tertawa lepas. “Oh, itu satpam, kawan. Jangan khawatir, dia tidak menggigit kok!” ucapnya sambil menepuk pundakku. Aku tersipu malu, merasa sedikit bodoh dengan kepolosanku. Tetapi aku benar-benar gugup, dan perbedaan antara desa dan kota membuatku merasa asing.
Dengan langkah pasti, Basuki membimbingku masuk ke gedung itu. Dia dengan santai menarik gagang pintu kaca, membuka jalan masuk ke lobby yang luas dan mewah. Aku masih ingat, lobby itu penuh dengan deretan kursi elegan, meja kaca, dan lantai yang mengilap. Ada wangi aromaterapi yang tercium, membuat ruangan itu terasa lebih menenangkan. Di satu sisi, aku merasa kagum; namun di sisi lain, aku merasa kecil. Basuki tampak begitu yakin, begitu “kota” dalam setiap geraknya. Sementara aku, yang meski menurut pengakuan Basuki juga berasal dari desa, merasa kami seperti berasal dari dunia yang berbeda.
Teman-teman kuliah dulu memang memanggilnya “Basuki” bukan hanya karena namanya, tetapi juga karena penampilannya yang mengingatkan kami pada Basuki Srimulat, seorang komedian terkenal yang sering memainkan peran dengan logat kental. Kami menganggapnya sebagai sosok yang penuh percaya diri, tangkas, dan pandai berbicara. Basuki punya bakat alami untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan di kota, sementara aku masih bergelut dengan perasaan asing.
Pada hari yang sama, aku juga punya janji bertemu dengan seorang teman lain, Kupu. Lelaki Batak bertubuh besar ini adalah teman dekatku di kampus dulu. Kami berdua punya banyak kenangan di masa kuliah, dan bersama satu teman lagi, Aan, kami membentuk kelompok diskusi kecil yang kami beri nama “Dead Discuss Society.” Nama ini terinspirasi dari film Dead Poets Society yang diperankan oleh Robin Williams, seorang aktor yang sangat kami kagumi karena kemampuan aktingnya yang memukau dan karakter yang ia bawakan sebagai guru inspiratif dalam film tersebut.
Kelompok diskusi itu adalah tempat kami menumpahkan segala pemikiran, ide, dan rasa ingin tahu tentang dunia. Kami berbicara tentang filsafat, teori sosial, bahkan politik. Setiap pertemuan di Dead Discuss Society adalah momen di mana kami, yang masih muda dan penuh gairah, mencoba mencari makna hidup dan merangkai impian untuk masa depan.