Aku bangun tidur dengan tubuh terasa segar. Rasanya seperti tidak ada yang salah di dunia ini. Langit masih biru, daun-daun masih hijau, dan air masih jernih. Aku melangkah ke dekat dispenser untuk mengambil air. Hari ini aku ada janji dengan ahli gigi, si Indah. Kami janjian tengah hari. Dia bilang, gigi palsu yang dipesan seminggu lalu sudah siap. Agak lama, memang, biasanya aku hanya perlu menunggu satu atau dua hari. Tapi kali ini seminggu. Aku penasaran dengan hasilnya.
Indah bilang, gigi palsu kali ini menggunakan metode baru. Katanya, jenis gigi ini tidak perlu dilepas pasang setiap hari. Ini adalah kabar yang luar biasa untukku, karena biasanya aku harus melepasnya sebelum tidur dan memasangnya lagi setiap pagi. Kebiasaan ini mengingatkanku pada bapak yang selalu melepas gigi palsu sebelum tidur. Seperti sebuah ritual.
Bedanya, gigi bapak kuat hingga di usianya yang tua. Sedangkan aku, gigiku sudah mulai tanggal satu per satu sejak usia 40-an. Ibu dan nenekku, yang rajin menginang sirih, memiliki gigi yang kuat sampai akhir hayatnya, meskipun warnanya menjadi merah bata. Ternyata, tradisi kuno itu ada manfaatnya juga, pikirku.
Sekitar pukul 10:25, Indah datang. Dia memintaku menyediakan air putih, kaca, dan kursi yang nyaman. Langsung saja kuantarkan dia ke ruang tengah, di sana ada colokan listrik yang dia butuhkan untuk memasang alat-alatnya. Aku menunggu dengan antusias, ingin segera mencoba gigi baruku. Setelah sekitar lima belas menit, gigi palsu baruku sudah terpasang. Aku merasakan perbedaannya seketika—lebih lembut dan terasa menyatu dengan gusiku.
Selesai basa-basi sebentar, Indah berpamitan. “Mau ke Gunungpring, Mas,” katanya sambil buru-buru. Ia menyebutkan daerah sekitar Muntilan, mungkin ada urusan di sana. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih sebelum dia berlalu.
Gigi atas di mulutku memang sudah tanggal semua, dan gigi palsu ini dibuat khusus untuk menggantikannya. Aku mengeluarkan uang sebesar 4,5 juta untuk pemasangannya. Mahal memang, tapi apa boleh buat. Dulu, dua kali gigi palsuku hilang dibawa tikus. Dua kali! Ah, tikus-tikus itu memang menjengkelkan. Dulu, ketika aku masih memiliki kucing persia di rumah, tidak pernah ada tikus yang berani masuk. Tapi itu di tempat tinggalku yang lama, sebelum aku pindah.
Masalahnya, di rumah ini, dua saudaraku, Mbak Genah dan Mbak Anti, benci kucing. Mereka tidak tahan melihat binatang berbulu itu berkeliaran. Sementara aku dan beberapa keponakanku sangat menyukai kucing. Aku heran, bagaimana bisa mereka tidak menyukai hewan seindah dan seimut itu? Padahal kucing adalah teman yang setia, yang tahu bagaimana menenangkan hati hanya dengan tingkah polosnya.
Aku jadi teringat salah satu kucingku dulu, yang diberi nama Firaun oleh anakku. “Kan dari padang pasir,” katanya saat ditanya alasan memilih nama itu. Sayangnya, nasib Firaun tidak berakhir baik. Tetanggaku yang merasa terganggu oleh kebiasaannya mencuri makanan akhirnya membunuh kucing malang itu. Aku baru mendengar kabar ini setelah pindah ke Magelang. Anakku kemudian menggantinya dengan memelihara anjing. “Anjing juga lucu, Pa,” katanya mencoba membujukku.