Lik Dalan menyambutku. Aku berada di mobil barang. Semua mengerumuni. Ada Mas Dwiatno yang punya mobil ini. Ada Mbak Dansa, Mas Eka, dan Mas Dwiatno. Aku bahagia. Kalau pun aku nanti mati, aku berada di tengah-tengah mereka. Orang orang yang kuanggap dekat.
Aku terasa lemas. Seperti kapas. Ringan. Tapi, ketika aku mencoba menggerakkan tangan sepertinya tidak mampu. Mungkin ini rasanya di surga? Atau justru neraka?
Lik Dalan itu kuat untuk tenaga kasar. Kali ini tangannya berguna untuk membopongku, Tangan yang lihai memainkan gendang.
Yang kuingat, tangannya cukup lihai dalam menepuk gendang. Dalam karawitan jawa, penguasa ritmis itu gendang. Mau cepat atau lambat, tergantung pada tukang gendang. Aku tak bisa memainkan gendang. Aku bisa membuat cepat tapi susah melambatkannya. Aku pernah mencobanya di tengah ibu-ibu. Semua penabuhnya adalah ibu-ibu. Dan aku disuruh oleh ayah untuk pegang gendang. Bapakku almarhum itu pandai dalam kebudayaan Jawa. Terutama karawitan dan wayang. Lagak yakinku udah diujung ubun-ubun. Dengan gagahnya kumulai. mengelus kulit kerbau di gendang dengan tepukan ringan. Pada awalnya semua berjalan lancar. Ibu-ibu mulai ketawa. Aku tersenyum. Permainan kupercepat. Mereka masih tertawa. Permainan kupercepat. Mereka tertawa. ;Ritme kupercepat lagi. Mereka tertawa, Sampai kemudian tahap permainan begitu cepatnya dan aku bingung. Bagaimana cara melambatkannya? Ibu-ibu mulai mengeluh. Aku nyengir. Bapak tanggap. Dia menggunakan tongkat penunjuk. Bapak mulai membuat bunyi dengan ketukan tongkat tuding itu untuk melambatkan ritme. Sejak itu aku kapok kalau disuruh pegang gendang lagi.
Lik Dalan ini yang menjagaku. Pagi .Siang. Malam. Aku yang biasanya merdeka dari jadwal yang teratur, tiba-tiba menjadi seperti pesakitan. Semua harus terjadwal. Semua atas persetujuan mas Dwiatno. Dasar Sabtu Pahing
Aku benar-benar lumpuh. Makan pun disuapkan. Mandi dimandikan. Yang, jelas aku seperti bayi lagi. Yang beda dengan bay, aku tidak bedong. Aku disuruh diam tak bergerak. Satu -dua hari aku masih sanggup.
Aku merasa baik baik saja. Tapi aku kok teringat makan bubur di jalan? Jangan jangan aku sudah tak waras. Pintu lipat sudah dibuka lebar sehingga siapa saja yang beli bisa melihatku.
Aku tahu kalau ini pagi karena cahaya matahari masih terik. Sinar matahari terlihat jelas di toko ini. Omong-omong, mereka meletakkanku di warung kelontong. Mungkin mereka belum menyiapkan kamar. Untungnya tak sampai ganti hari aku sudah dipindah ke kamar dekat tangga.
Kamar ini cukup luas. Ukuran empat kali enam. Cukup untuk latihan jalan.Tapi sekadar berdiri lurus saja susahnya minta ampun, Ada titik lutut yang begitu menyakitkan. Seperti seribu jarum terselip di sana.
Sejauh ini aku hanya shalat sambil tiduran. Aku masih belum kuat untuk shalat sambil duduk. Target awalku : shalat berdiri. Aku insyaallah bisa. Semoga Tuhan memudahkan.
Tuhan tidak mencoba seseorang di luar kemampuan. Itu prinsip yang kupegang.Jadi, aku yakin bisa. Tapi bagaimana?