"Kaki diangkat," Mas Dwiatno menyuruhku. Aku bukannya tak mau. Tapi memang lebih mudah menyeret. Kaki kuangkat memang, tapi semampunya.
"Nanti jadi kebiasaan!" begitu yang selalu kudengar. Tapi bagaimana lagi, telapak kaki lebih enak dilantai. Aku menikmati gravitasi bumi. Mereka tidak tahu. Mereka tidak merasakannya sendiri. Mengangkat tungkai kaki itu sulit, tahu! Lebih sulit dari pemilihan presiden. Coba kalau kau sakit stroke, pasti jalannya juga diseret. Aku yakin. Seyakin-yakinnya. Pasti diseret.
Belum lagi mikirin tekniknya. Itu lebih rumit lagi. Otot yang mana harus diperkuat. Aku sama sekali tidak tahu. Aku tidak peduli apakah ini gaya atau tidak. Tapi ya seperti ini yang bisa kulakukan. Yang penting gerak. Ini sudah gerak. Mau apa lagi? Tapi kalau harus mengeluarkan keringat, nanti dulu. Ada tahap-tahapnya. Ini baru pemanasan. Nanti juga akan cepat keringat. Sabar, yang penting itu sabar. Orang sabar disayang Tuhan.
Walau aku tak pernah membayangkan wujud Tuhan. Tapi setidaknya aku percaya Tuhan. Tuhan itu Tunggal. Tidak beranak dan diperanakkan. Kitab suciku menyebutkan demikian. Tempat untuk mengadu segala keluh kesah. Sekarang aku mengadu pada-Mu. Aku sakit. Aku lumpuh. Aku sendirian. Tidak ada yang memerhatikanku. Mereka tidak tahu. Aku sudah bekerja keras. Tolonglah aku, wahai Tuhan. Aku habis cerai. Anakku satu. Mudah menangis dia.
Penderitaan ini terasa lama. Aku ingin cepat selesai. Bisakah dipercepat prosesnya? Seperti kaset? Atau melompat ke segmen berikutnya. Melompat? Sepertinya aku susah kalau harus melompat. Aku berjalan saja susahnya minta ampun. Jelas melompat lebih susah. Tak mungkin bisa. Tiada mungkin mampu. Harus dikuatkan dulu otot betisnya. Aku harus belajar jalan jinjit dulu, baru setelah itu melompat. Rumitlah! Tak mungkin kubisa.
Yah, aku terlalu capek untuk melakukan printilan-printilan kecil ini. Aku selalu ingin berlari. Tapi untuk berlari dibutuhkan kaki kuat. Dan kakiku tidak kuat. Lemah! Lunglai. Layu. Itulah aku. Tapi waktu terasa cepat berlalu. Aku hanya diam di satu titik beku. Aku rindu kerja. Aku rindu capek kerja. Aku rindu bunyi keyboard anakku. Aku rindu anakku.
Mengapa aku disuruh ternak ayam? Itu bukan keahlianku. Itu tidak sebanding lima tahun kuliahku. Itu pemborosan. Biaya hidup di Semarang itu mahal. Masa pelihara ayam? Yang benar saja! Itu sama sekali tidak masuk akal. Coba bayangkan kalau aku kerja di Jakarta. Aku bisa naik taksi ke mana-mana. Pakai voucher yang tinggal tanda tangan lalu selesai.
"Orang cari uang itu tidaklah mudah." Itu petuah kakakku, Mas Dwiatno kepadaku. Susah. Tapi tidak sesusah ini, kali! Ini penyiksaan. Andai bapak-ibu masih ada aku akan mengadukan masku ini. Tapi sekarang aku harus dipaksa menikmati ini. Duh Bapak, aku dianiaya kakakku! Tolong aku!
Tapi, masa saudara sendiri kejam? Ini aku yang salah kira. Salah menduga. Mas Dwiatno sudah berbuat banyak. Dia membuatkan kerekan tangan, dia sudah menyuruhku olahraga, dia sudah memberiku makan. Jadi tidak mungkin dia jahat. Aku yang jahat. Ini pasti stroke yang bicara. Stroke itu jahat. Lebih jahat dari ibu tiri.