Berikut adalah pengembangan narasi dengan tambahan panjang kata, gaya deskriptif ala H.G. Wells, dan aliran pikiran ala James Joyce, mengeksplorasi refleksi, emosi, dan keadaan internal tokoh secara lebih mendalam.
---
Aku berdiri di ambang waktu, di ujung batas antara masa lalu yang memudar dan masa kini yang hanya sepi. Dulu aku adalah seorang pria yang dikejar oleh angin kota, seorang jurnalis dengan segenggam ketenaran yang lebih berat daripada yang bisa kubayangkan saat pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Ada denyut hidup yang mengisi setiap celah ruang kerjaku dulu, ada detak yang serupa aliran listrik dari mesin pencari berita, ada panggilan telepon yang datang dari ujung dunia untuk sebuah kutipan, pernyataan, kabar yang ditunggu ribuan orang. Namun sekarang, yang ada hanya detak sunyi yang bergema di sudut hatiku, mengisi kehampaan yang tak kutahu kapan akan pergi.
Aku telah bercerai, ikatan yang dulu kuanggap tak tergoyahkan sekarang hanya kenangan di balik kaca yang retak. Lalu datang stroke yang meluluhlantakkan segalanya, memaksaku meninggalkan Investura, perusahaan yang aku dan Basuki bangun dari awal, menyisakan sisa-sisa dari mimpiku yang entah kini berkelana ke mana. Sekarang aku berada di Magelang, kota kecil yang tenang dan jauh dari hiruk pikuk Jakarta. Di sinilah aku menjalani hari-hari yang kosong, sepi seperti jam rusak yang jarumnya tak pernah bergerak, tak ada lagi desakan waktu, hanya detak yang tak berarti.
Investura, sebuah startup yang lahir dari tangan kami berdua, didirikan di tengah maraknya euforia bisnis teknologi. Nama itu, dulu memiliki cita rasa yang tajam, mimpi besar tentang masa depan, tentang kebebasan finansial, tentang keberhasilan. Kami menggerakkan perusahaan ini dengan penuh semangat. Basuki dan aku pernah berjanji akan membangun Investura menjadi nama besar yang dikenal oleh semua. Kami bersumpah di bawah bintang kota Jakarta, di antara kemilau lampu-lampu gedung pencakar langit yang seperti menatap kami dengan keangkuhan yang hampir tak tertandingi.