Lik Dalan, dengan langkah sigapnya, meraih baju koko putih yang tergantung rapi di balik pintu kamarnya. Hari ini, Jumat yang penuh berkah, aku akan kembali menunaikan ibadah shalat Jumat bersamanya. Sudah kesekian kali ini, rutinitas yang menenangkan di tengah keterbatasan fisikku. Aku berusaha mempercepat langkahku, mengikuti Lik Dalan yang telah berjalan di depan. Namun, apalah daya, langkahku tertatih, jauh lebih lambat dari anak kecil berusia lima tahun sekalipun.
Aku menyadari keterbatasan ini, sehingga aku telah bersiap lebih awal. Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas lewat seperempat ketika aku tiba di rumah Lik Dalan. "Wih, rajin banget," serunya dengan nada bercanda, "memangnya mau dapat pahala seperti berkorban onta?" Aku hanya bisa menggelengkan kepala, meskipun dia tak melihatnya karena telah lebih dulu masuk ke kamar mandi. "Tunggu dulu!" teriaknya lagi sambil mengambil handuk kumal berwarna hijau lumut.
Lik Dalan, sosok sederhana namun penuh gaya. Selalu rapi dengan ikat pinggangnya, meskipun telah usang dimakan usia. Berbanding terbalik denganku, yang tak pernah peduli dengan penampilan, meskipun dulu pernah bekerja di media gaya hidup di ibukota. Pandanganku menjelajah, mengamati detail-detail kecil di ruangan itu. Sebuah termos merah bata dengan gelas merah marun, tampak serasi meskipun usang. Di dekat jendela, kulihat bungkus kertas roti dari toko terkenal di Solo. Ah, mungkin kiriman dari Lik Gini, kakak Lik Dalan yang tinggal di sana.