Setelah petir menyambar antena di gardu itu, tubuhku sejenak tertegun, seperti ada energi besar yang melintas di sekitarku. Dalam hening, hanya suara hujan dan detak jantungku yang terasa. Perlahan aku berdiri, meraba-raba keseimbangan, lalu menarik napas panjang.
Cahaya petir tadi memberi kehangatan aneh dalam tubuhku. Seolah percikan api yang dinyanyikan Bapak bertahun-tahun lalu benar-benar hidup dan berkenalan dengan jiwaku. Di tengah jalan basah itu, aku merasa berbeda. Perasaan dingin dan sakit gigi yang terus menggerogoti, meski belum hilang, kini terasa hanya seperti bagian dari perjalanan ini, bukan beban lagi.
Aku melanjutkan langkah dengan mantap. Hujan yang membasahi tubuhku terasa seperti lembaran kain lembut yang melembutkan jiwa yang keras. Kaki melangkah di atas tanah becek, aku melihat ke depan; perjalanan masih panjang dan sunyi.
Sesampainya di Ngampeldento, desa yang seperti selalu terlelap dalam waktu, aku berhenti di perempatan jalan yang hanya diterangi sebuah lampu jalan tua. Di sanalah semua kenangan membanjiri pikiranku. Dulu, Bapak pernah membawaku ke sini saat aku baru belajar membaca mantra pertama kali. Dengan suara berwibawa, ia menatapku dan berkata, "Di sinilah akar hidupmu. Ketika kau merasa hilang, pulanglah, dan jangan ragu melihat ke belakang."
Ketika rumah mulai terlihat, kecil dan rapuh di tengah persawahan, hatiku merasa sedikit lebih tenang. Aku menekan pintu kayu tua itu, mendengar derit khasnya. Dinding-dinding berlapis tanah dan bambu menyambutku. Rumah yang sejak kecil kutinggali, penuh dengan cerita dan kenangan keluarga.
Di sudut ruangan, terlihat warisan terakhir dari Bapak: sebuah meja kecil. Aku duduk bersila di depannya, seolah berbicara dengan Bapak. "Bapak, aku pulang," lirihku. Tiba-tiba, hatiku terasa lebih ringan. Seperti ada energi yang mendekap, seolah Bapak hadir di sampingku, tersenyum dan memberi kekuatan yang selama ini hilang.
"Alhamdulillah..." kuucapkan perlahan. Seperti mantra terakhir, dalam ucapanku ada ketulusan yang baru. Aku sadar, mungkin bukan keris yang kubutuhkan, bukan mantra kebal yang harus kurapal, tapi ikhlas menerima segala yang terjadi. Dalam keikhlasan itu, aku merasa memiliki kekuatan lebih besar dari sekadar kebal terhadap senjata, yaitu kebal terhadap luka di hati dan cobaan hidup.
Pagi harinya, aku bangun dengan perasaan tenang yang baru. Langit bersih, dan matahari mengintip malu-malu di balik awan. Di teras rumah, aku duduk, melihat sawah yang basah setelah hujan semalam. Aku tahu perjalanan hidup ini masih panjang, tapi kali ini, aku siap menghadapinya—tanpa perlu mantra atau pusaka, hanya dengan hati yang lapang dan langkah yang lebih mantap.
---
Angin pagi meniup lembut rambutku, membawa aroma tanah basah dan dedaunan segar. Matahari mulai meninggi, mewarnai langit dengan semburat jingga dan merah muda. Di kejauhan, terdengar kokok ayam jantan, tanda hari baru telah dimulai. Aku memejamkan mata sejenak, meresapi setiap detik keheningan ini. Pikiran-pikiran berlarian seperti anak-anak yang bermain di sawah, bebas dan tanpa beban.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangku. Aku menoleh perlahan dan melihat sosok Pak Karto, tetangga sebelah yang sudah seperti keluarga sendiri. Wajahnya yang keriput dihiasi senyum ramah, matanya yang teduh menyiratkan kebijaksanaan usia.
"Selamat pagi, Nak," sapanya lembut. "Kupikir aku melihat bayanganmu semalam. Kau pulang tanpa kabar, ya?"
Aku tersenyum, merasa hangat oleh perhatian sederhana itu. "Iya, Pak. Maaf belum sempat memberi tahu. Banyak hal yang terjadi."
Dia duduk di sampingku, menatap hamparan sawah yang menghijau. "Kehidupan di kota pasti melelahkan, bukan? Kadang kita lupa bahwa ketenangan ada di sini, di tempat asal kita."
Aku mengangguk pelan. "Benar, Pak. Setelah lama pergi, aku baru sadar betapa rindunya aku pada tempat ini."
Pak Karto menepuk bahuku dengan lembut. "Yang penting kau sudah pulang. Desa ini selalu menerima anak-anaknya kembali."
Setelah Pak Karto pergi, aku memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri desa. Jalan setapak yang dulu sering kulalui tampak masih sama, meski beberapa rumah kini tampak lebih tua dan rapuh. Anak-anak berlarian, tertawa riang tanpa peduli dunia. Mereka mengingatkanku pada masa kecilku, saat hidup begitu sederhana dan penuh kebahagiaan.
Aku membantu para tetangga dalam aktivitas sehari-hari, menggali kembali keterikatan dengan komunitas yang sempat terputus. Di ladang, aku bekerja bersama Pak Karto, menanam benih-benih padi yang akan menjadi sumber kehidupan desa ini. Setiap tetes keringat yang mengalir seolah membersihkan beban-beban yang menumpuk di hati.
Suatu sore, saat matahari mulai terbenam, aku duduk di tepi sawah, memandang langit yang berubah warna menjadi oranye keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma padi yang mulai menguning. Dalam keheningan itu, aku merenung tentang perjalanan hidupku. Betapa selama ini aku terlalu sibuk mengejar ambisi, hingga lupa akan makna sebenarnya dari kebahagiaan.
Aku teringat akan teman-teman masa kecil yang dulu selalu bersamaku. Waktu telah memisahkan kami, namun kenangan itu tetap hidup. Aku memutuskan untuk mencari mereka, berharap dapat menjalin kembali persahabatan yang pernah terjalin erat.
Hari berikutnya, aku mengunjungi rumah teman lamaku, Rudi. Dia terkejut melihat kedatanganku, namun segera menyambut dengan hangat. "Wah, lama tak jumpa! Apa yang membawamu kembali ke desa?" tanyanya dengan antusias.
Aku tersenyum. "Aku merasa perlu kembali ke akar. Terlalu lama aku meninggalkan tempat ini."
Kami berbincang panjang lebar, mengenang masa-masa sekolah dan petualangan kecil yang dulu sering kami lakukan. Rudi kini telah berkeluarga dan meneruskan usaha keluarganya di bidang pertanian. Melihat kehidupannya yang sederhana namun bahagia, aku merasa iri. Kebahagiaan sejati ternyata tidak terletak pada harta atau jabatan, melainkan pada kedamaian hati dan kehangatan hubungan dengan orang-orang terdekat.