Kehidupan yang dulunya penuh dengan gemerlap ambisi, kini seperti langit yang perlahan meredup, tertutup mendung. Segala pencapaian yang dulu terasa kokoh bagai karang di tepi lautan, tiba-tiba terasa rapuh, mudah larut dalam gelombang waktu. Tubuh yang dulu sekuat baja kini serasa hanya kerikil kecil yang dilemparkan ke lautan luas—terombang-ambing oleh takdir yang tak bisa ditebak. Namun, aku tidak tunduk begitu saja. Hidup ini, sebagaimana kata Goenawan Muhammad, adalah serangkaian pertempuran kecil yang harus dijalani dengan kepala tegak dan hati yang tabah.
Di kota kecilku, Magelang, yang penuh kenangan masa kecil dan cerita lama, aku menemukan diri bergabung dalam sebuah komunitas stroke survivor. Di sini, ada kehangatan yang tak pernah kuduga sebelumnya, ada pelajaran tentang kemanusiaan yang terselip di balik setiap senyum lelah mereka. Kami berjuang bersama, saling mendukung dan menguatkan, seperti sepotong puisi yang terus mengalir, berusaha mencari jalan keluar dalam sebuah perjalanan yang penuh misteri. “Hidup ini memang penuh luka,” begitu kata mereka. “Tapi luka adalah bagian dari perlawanan, bukan akhir dari cerita.”
Melalui komunitas ini, aku belajar tentang segala jenis terapi yang mengalir seperti sebuah harmoni penyembuhan; mulai dari akupunktur, fashdu, bekam, sampai pijat. Setiap metode adalah sebuah percikan harapan, sepotong cahaya di tengah gelap yang menggerogoti. Aku menjalani perawatan ini dengan hati yang terbuka, percaya bahwa tubuhku akan merespon seiring berjalannya waktu. Perubahan datang perlahan, tapi aku tahu, seperti yang diucapkan Goenawan Mohamad, “Perlahan bukan berarti tidak bergerak, melainkan adalah cara Tuhan memberi jeda pada manusia untuk belajar.”